Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kota Berbagai Cerita

21 Januari 2019   13:36 Diperbarui: 21 Januari 2019   13:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Eh, kalian tahu tak? Di negeri tetangga kita orang-orang berebut kursi yang dibuat seorang kakek tua?" Aku tersadar mendengar tanya itu. Ternyata aku tetap di kedai, di hadapan mangkok mie rebus yang sudah licin dan gelas kopi yang berisi ampasnya saja. Selintas kuingat masa sekolah di bangku esde. Aku dan teman-teman berebut kursi paling belakang dan di dekat jendela. Karena duduk di situ begitu nyaman melihat suasana di luar sana. Ketika guru menyuruh siswa menjawab soal di papan tulis, nasib yang duduk paling belakang di dekat jendela itulah paling beruntung. Sering sekali belum sampai giliran anak yang duduk di belakang dekat jendela itu menjawab soal, tiba-tiba lonceng berbunyi tanda usai pelajaran.

"Berebut kursi? Bagaimana bisa?" Si gempal-badak menanggapi.

"Bisa saja! Orang-orang sampai sogok sana sogok sini demi tercapainya niat menguasai kursi. Baku hantam menjadi hal yang lumrah. Apalagi hanya sekadar caci-maki. Makanya, kalau sudah dapat kursi, bisanya duduk saja. Merintah sana-merintah sini. Ada kesempatan, maling uang rakyat. Ke mana-mana harus bawa kursi. Mungkin masuk kakus juga bawa kursi."

Mataku terasa semakin terang. Perut tak beriak lagi. Cukup sudah mendengar celoteh mereka yang tak lebih caci-maki. Meskipun sebenarnya apa yang tersebar dari mulut mereka adalah kebenaran.

Aku bersusah-payah keluar dari orang yang mengapitku. Ujung sepatuku kembali menyenggol pinggang si gempal-badak. Tapi dia seperti tak merasa apa-apa. Berita di televisi tentang negara si anu, si itu, membuatnya banyak komentar. Aku merogoh kantong celanaku, lalu mengeluarkan uang sepuluh ribu.

"Ini uangnya, Bu. Kopi satu, mie rebus satu." Aku menyerahkan uang itu kepada si ibu. Dia menatapku dengan mata seperti akan lepas dari cangkangnya. "Kenapa, Bu?"

"Ini cuma harga kopi!" ketusnya.

"Cuma harga kopi?" Aku terbelalak.

"Mie rebus dua puluh ribu!"

Aku merogoh lebih dalam kantong celanaku. Hanya ada uang yang sudah lecek beberapa lembar. Setelah kuhitung, cukuplah dua puluh ribu.

Dia tersenyum setelah uang itu di tangannya. "Tip untuk mendengar perbincangan di sini lima ribu, Pak! Parkir sepedanya sepuluh ribu. Beruntung bapak tak ikut memberi tanggapan, karena bapak harus membayar tip tanggapan juga." Si ibu semakin menyerocos seperti asap lokomotif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun