"Nah, kalau Papa ngantor, kan banyak orang di sana."
"O, iya, ya...." Mijan malahan memejamkan mata. Sebentar saja suara dengkurnya membuat telingaku sakit.
* * *
Bukannya menonton tivi. Bukan pula ke kebun binatang. Mijan kembali membuatku sangat stress. Mungkin akulah yang sebentar lagi akan gila. Mijan sekarang berbicara dengan binatang. Seekor kucing kesayanganku diajaknya berbincang di kamar. Ketika amarahku hampir meledak, Mijan menoleh. Matanya menyipit.
"Kucing ini mau tahu urusanku sehari-sehari. Memangnya dia siapa? Aku tahu dia yang mencuri ikan asin di bawah tudung saji. Eh, bukannnya mengaku, dia malahan menuduhku mengeruk habis isi lumbung padi."
Mijan memang sudah gila. Segera kuambil kunci kontak mobil. Kutarik dia ke luar kamar.
"Kenapa? Mama berkawan dengan kucing itu, ya? Tega sekali!" Dia mendesis. Dia tak menolak kududukkan di jok mobil. Tak bisa tidak, dia harus dibawa ke psikiater. Dia hampir gila, atau memang sudah gila. Bicara kok dengan kucing!
"Jadi orang yang waras-waras saja, Pa. Papa mau nonton discovery channel fauna, aku mengalah dan maklum. Papa ke kebun binatang, pun masih dapat kuterima. Tapi berbicara dengan kucing, apa aku harus bersabar? Papa harus sembuh, harus berobat!" Mataku tetap tertuju ke depan. Jalanan lumayan lengang. Aku bebas agak memacu mobil lebih kencang. "Dengar tidak, Pa?" Tak ada sahutan. Ketika iseng menoleh ke kiri, ternyata Mijan tak ada. Yang ada hanya seekor tikus yang mencicit-cicit ketakutan.
"Pa!" Aku tersentak. Ternyata aku hanya bermimpi. Tapi teriakan keras Mpok Nem, bukanlah mimpi. Aku bergegas ke ruang depan dengan langkah kepayahan.
"Tuan besar, Nyonya. Tuan besar ada di tivi. Tuan besar jadi selebritis."
"Salah seorang tikus negara akhirnya tertangkap tangan sedang menerima suapan dari seorang pengusaha." Mijan terlihat malu digiring petugas KPK. Tak kudengar lagi komentar pembawa acara di tivi. Tiba-tiba aku ingin menonton discovery channel fauna.