Aku tak berniat menyuruhnya duduk. Dia juga tak meminta masuk. Dia hanya mengatakan datang sebagai utusan ingin meyakinkanku mencalon bupati. "Ini saya berikan topeng Arjuna agar kau bisa melihat lawan-lawan politik kita. Betapa busuknya mereka."
"Lawan politik? Anda salah. Saya tak tahu menahu dan tak mau tahu dengan politik. Saya tak ingin menjadi politikus, kalau-kalau harus memelihara banyak tikus."
"Politik tak sejahat itu, Pak. Percayalah, anda ditunggu sebagai ratu keadilan."
"Saya bukan perempuan!"
"Satria piningit!"
"Saya tak paham! Saya bukan perempuan yang dipingit."
"Permisi!"
Aku membuang topeng itu ke kasur. Ada-ada saja orang iseng yang membuat kepalaku bertambah pusing.
Kulupakan saja topeng itu. Tapi semakin kucoba lupakan, bertambah besar hasratku mengenakannya. Ini gila! Kendati aku seratus persen tak ingin terjerumus---itu kataku---ke dunia politik, setidak-tidaknya dengan mengenakan topeng itu, tanpa sadar aku terserat arus.
Aku menjauh dari kamar. Tapi kembali melangkah mendekati kasur. Aku menjangkau remote tivi ingin mengganti acara, tanganku malahan menggapai topeng itu. Ah, biarlah mencoba sekali, tak apa-apa.
***