Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arjuna

21 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 21 Januari 2019   09:57 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbelalak. Bukankah dia yang di tivi itu seorang terpandang? Wajahnya seperti iklan bertebaran di koran-koran. Kenapa seorang terpandang berlaku merendahkan diri seperti itu? Berbuat jorok? Sialan!

Aku berlari ke kamar mandi. Isi perutku tumpah semua ke toilet jongkok. Tak kusangka orang itu nekad membawa tahi berdus-dus transparan dalam bak truk. Dia tertawa sambil berkata bahwa itu adalah tahi yang disimpannya bertahun-tahun. 

Dengan bangga pula dia berdiri di podium, berbicara yang melulu tak jauh berhubungan dengan tahi dan yang jorok-jorok. Ratusan orang di depannya menonton antusias. Terkagum-kagum, beryel-yel sambil meneriakkan kata-kata penghormatan.

Puas membuang bersendok ludah di podium, dia turun. Tahi dalam kardus tranparan dibagi-bagikan kepada penonton. Mereka bersalam-salaman. Lampu blitz wartawan bertebaran serupa kembang api.

Tadi kucoba tahan-tahankan menonton acara menjijikkan itu. Tapi akhirnya perutku bergolak.

Segera kucopot topeng Arjuna itu. Sayang sekali dia telah menyatu dengan wajahku. Kucongkel sisinya dengan ujung obeng sampai pipiku berdarah, topeng itu tetap bertahan. Susah-payah aku menjangkau kasur. Aku terkapar sampai siang menjangkau dari jendela dan dering telepon seperti ratusan lonceng memekakkan telinga.

Telepon kuangkat. Dari kantor mengabarkan sebentar lagi seseorang mengantarkan berkas untuk ditandatangani. Buru-buru kuraba wajah. Tak lucu bila orang kantor datang, aku masih memakai topeng. Apa aku ini sedang berlakon wayang orang?

Ajaib! Tak ada topeng di wajahku. Topeng itu entah mengapa sudah ada di meja rias istriku. Aku tersenyum lega.

***

Tiga hari tanpa keluarga, tanpa teman---kecuali sekali-dua orang kantor---aku hanya bersama topeng sialan yang mulai kusayangi itu. Tivi yang menjual wajah-wajah petarung pilkada, membuka lebar mataku. Membuka mata batinku bahwa kota ini harus hijrah. Harus ada yang bisa merubah kebobrokan sebelum semua terberangus, terbakar menemui abu.

Selain rajin membagi-bagi tahi, para calon bupati itu juga sering berganti-ganti rupa. Ketika menghadap ke pemujanya, wajahnya seperti ayam baik hati. Ayam kinantan yang menarik hati. Tapi ketika dia melaju meninggalkan pemujanya, tawanya berubah lolongan serigala. Wajahnya berbulu, mulutnya bertaring. Persis serigala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun