Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sutinah

20 Januari 2019   22:10 Diperbarui: 20 Januari 2019   22:19 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tersebutlah kisah ini dari sebuah daerah transmigrasi di bagian terdalam Sumatera Selatan. Tak perlulah saya ceritakan di mana tepatnya. Tak perlu juga saya melampirkan dengan selembar peta. Tapi yang pasti, daerah transmigrasi itu sangatlah garingnya. Tanah sedemikian tandus.

Hanya memberikan kelapangan untuk hidup ilalang yang membentang sejauh mata memandang---tentu saja diselang-selingi rumah beratap daun nipah atau seng karatan, warung-warung kopi yang kerap dirubung warga, juga atap mushola yang puas dilahap debu, seperti isi di dalamnya yang melulu dibalut debu.

Saya lebih senang menyebut nama perempuan beranjak dewasa itu Sutinah. Dia bersama kedua orangtuanya yang sepuh, telah pula lama menyecap segala penderitaan di daerah itu. Penderitaan yang tak dapat lagi dibetikkan dari mulut. Mereka telah kebal.

Karena tiga anak-beranak itu bukanlah pendatang dari tanah Jawa---orang-orang yang sengaja dieksodus pemerintah. Mereka masyarakat pribumi, turun-temurun merasakan beratnya mencari penghidupan di tanah yang tandus itu.

Maka bukanlah salah pula Sutinah bermimpi sejahtera. Bukanlah salah dia ingin menyejahterakan dua orang sepuh itu. Dia sama sekali tak ingin seperti perempuan-perempuan di daerahnya, menunggu lelaki melamar, kemudian menikah, melahirkan, lalu melarat lagi.

Maka bukanlah salah pula dia menuruti ajakan Nyi Inoh---perempuan berbobot lebih delapan puluh kilogram itu---demi bertaruh hidup di negeri jiran. Menjadi TKW. Ah, sedemikian kuatkah godaan negeri jiran, seolah menyimpan pundi-pundi emas yang menggiurkan?

"Aku akan berangkat ke negeri jiran minggu depan." Itulah ucapan pertamanya setelah dia begitu tergoda cerita Nyi Inoh yang bermulut nyinyir.

"Negeri jiran? Betapa jauhnya!" Mata ibunya mengabut. Perempuan tua itu membayangkan negeri di balik awan. Dia takut akan kehilangan putri satu-satunya.

"Apakah kau memiliki modal?"Ayahnya lebih bijaksana berpikir. Lelaki tua itu tak memiliki janji apa-apa demi menahan langkah kaki putrinya. Dia hanya menjanjikan harapan-harapan hampa yang selalu hilang begitu saja dipapas badai angin paceklik.

"Nyi Inoh yang memodaliku!" Sebuah keputusan telak yang tak bisa diperbantahkan.

Sutinah menuruti kata hatinya. Dia kemudian sangat menikmati perjalanan bersama belasan perempuan yang setara umurnya di sebuah bis malam jurusan Jakarta-Medan. Dia melahap kota-kota dan pedesaan yang selalu bersilewaran dengan cerita gemerlap atau kemelaratan yang timpa-menimpa.

Dia tak tahu Medan itu di mana. Dia tak faham bagaimana mesti mencapai negeri jiran. Dia hanya menuruti kehendak Nyi Inoh dan segala perintahnya ketika tiba di sebuah pelabuhan setelah hampir tiga puluh jam menempuh perjalanan melelahkan.

"Kita akan tiba di negeri sejahtera!" Selalu itu yang dikumandangkan Nyi Inoh, mengobarkan semangat perantauan kepada perempuan-perempuan bau kencur itu. Sehingga  mereka merasakan deru ombak dan anyir laut saat berada di kapal berbadan sedang. 

Mereka kemudian menjejakkan kaki di sebuah pelabuhan dengan perasaan gamang. Negeri apa ini? Orang-orang berlalu-lalang seakan disibukkan oleh keperluan yang tak putus-putus.

"Kita menyambung perjalanan dengan kapal lain!" Nyi Inoh semakin bersemangat berbicara. Kapal yang dia sebutkan taklah bisa disebut kapal. Hanya sebuah perahu ketek, seperti perahu untuk menyeberangkan penumpang di sungai-sungai yang ramai membelah Sumatera Selatan.

Tapi perempuan-perempuan kencur itu tak memusingkan kapal besar, kapal sedang, atau perahu ketek sekalipun. Mereka sudah ingin menyadap kesejahteraan di negeri jiran itu. Sangat menjanjikan!

Tibalah akhrinya Sutinah di dekapan sebuah pulau. Di dekapan gedung dengan pagar-pagar tinggi dan senyum liar lelaki-lelaki. Sutinah mulai merasa ketakberesan. Entah teman-temannya. Sehingga dia hanya mampu bisa menjerit dan meronta begitu malam menyergap dengan belitan lelaki yang haus segala. 

Dia hanya bisa mencerecau menyebut-nyebut orangtuanya yang sepuh, meminta tolong, namun tak berani menyebut nama Tuhan. Dia merasakan tak pantas menyebut nama Tuhan di tempat yang sedemikian ketat memeluknya, meremukkan tulang-tulang juga kesuciannya.

Apalah daya selain berjuang menyusun rencana melarikan diri dari neraka dunia itu. Berbilang bulan dia menerima tekanan-tekanan dari para lelaki juga berita-berita mengenaskan para perempuan yang disiksa oleh lelaki-lelaki jadah karena pelarian mereka tak berhasil. 

Begitu banyak anjing-anjing penjaga di situ, dari yang berbentuk manusia, juga berbentuk anjing sebenarnya. Bagaimana pula tentang kabar berita Nyi Inoh? Entahlah!

Begitupun Sutinah tak ingin terperangkap terus-terusan di dalam dekapan yang menyiksa itu. Nasib mujur mengenal seorang lelaki, membuatnya bisa melepaskan ikatan dari gedung itu. Tentu saja harus menerima nasib sial, luka-luka lecet yang memenuhi hampir sepertiga tubuhnya. Lelaki yang membantunya demikian hebat, menimbulkan kemasygulan, karena berhasil ditangkap centeng-centeng. Entah bagaimana hasil akhirnya, ataukah lelaki itu dirajam sampai mati?

Sutinah bagaikan perempuan yang tersesat di belantara yang sangat asing. Dia begitu saja terpaksa rela menggadaikan nurani kepada seorang tukang perahu demi mengantarkannya ke seberang.

Berbulan-bulan dalam dekapan gedung itu, membuatnya tahu banyak tentang nama pulau tempatnya tinggal dari beberapa pelanggan yang baik hati---termasuk lelaki yang mempertaruhkan nyawanya itu. Dia juga tahu bagaimana alur perjalanan menuju pulau Sumatera, kemudian melanjutkan perjalanan darat nun ke daerahnya yang tersudut di Sumatera Selatan.

Tahukah kau akhirnya dia bisa kembali ke pangkuan kedua orangtuanya? Ah, tepatnya ke pangkuan salah seorang dari mereka---ibunya. Sebab ayahnya telah meninggal karena penyakit tua.

Sutinah berniat mencari nafkah dengan jalan halal saja. Membuka warung kopi di perempatan jalan, misalnya? Ah, kenapa dia tak terpikir dari dulu. Kenapa? Ya, mungkin karena tak mempunyai modal. 

Tapi bukankah sekarang dia juga kere? Ah, tidaklah sampai segitu. Dia masih sempat menggadaikan nurani kepada seorang lelaki kaya saat berada di sebuah kota sebelum dia melanjutkan perjalanan melalui jalan darat beberapa hari lalu. Lelaki itu menggenggamkannya uang lumayan banyak. Dia berharap Sutinah bisa kembali lagi, dan dia berjanji akan memberikan jumlah lebih dari itu.

"Cih! Tak sudi!" batin Sutinah membentak. Dia telah melupakan kenajisan yang telah menghinggapi dirinya. Dia ingin menjadi seorang perempuan yang tobat dari sebuah pekerjaan bejat yang sebenarnya terpaksa dia lakukan.

Merubunglah orang-orang---terutama kaum lelaki---ketika Sutinah membuka warung kopi. Dia seolah rumpun bunga yang tumbuh di lahan tandus. Harumnya menyengat setiap kumbang untuk mendekat. Wajarlah uang menepi ke pundi-pundi Sutinah dengan amat derasnya. 

Hingga suatu hari Nyi Inoh memampetkan aliran uang itu. Nyi Inoh memarahi Sutinah sebagai perempuan tak tahu diuntung. Dia hampir menjambak rambut perempuan itu kalau saja sepupu Sutinah tak datang membantu.

Kau tahu bagaimana cerita selanjutnya? Warung kopi Sutinah tiba-tiba sepi. Nyi Inoh telah menyebar kebusukan ke seluruh warga bahwa Sutinah adalah bekas seorang penjaja di negeri jiran. Meskipun kaum lelaki malahan bersemangat karena memiliki harapan banyak dari bekas penjaja seperti Sutinah, toh semuanya tak berani melawan amukan para istri atau orangtua mereka.

Sutinah mencoba menjelaskan yang sebenarnya. Toh siapa yang sudi mendengar? Jangankan Sutinah, orang yang bersangkut-paut dengannya, pun dianggap najis. Begitulah, ketika ibu Sutinah meninggal, hanya dia dan keluarga dekatnya yang bersusah-payah melakukan prosesi pemakanan. Bahkan di hari lain, dengan kondisi warung kopi yang sepi, beberapa pemuda membakar warung itu. Puas membakar warung itu, mereka merubuhkan rumah Sutinah. Betapa bengis amukan warga. 

Terkabar Sutinah melarikan diri ke daerah lain. Terkabar pula dia telah ditemukan tewas di aliran sungai yang berarus deras. Hanya saja sampai saya menuliskan cerita ini, orang-orang di daerah itu sekali-dua melihat Sutinah di bekas warungnya itu. Sekali dua orang-orang mendengar suara perempuan menembang lirih dari bekas rumahnya yang telah rata dengan tanah.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun