Tersebutlah kisah ini dari sebuah daerah transmigrasi di bagian terdalam Sumatera Selatan. Tak perlulah saya ceritakan di mana tepatnya. Tak perlu juga saya melampirkan dengan selembar peta. Tapi yang pasti, daerah transmigrasi itu sangatlah garingnya. Tanah sedemikian tandus.
Hanya memberikan kelapangan untuk hidup ilalang yang membentang sejauh mata memandang---tentu saja diselang-selingi rumah beratap daun nipah atau seng karatan, warung-warung kopi yang kerap dirubung warga, juga atap mushola yang puas dilahap debu, seperti isi di dalamnya yang melulu dibalut debu.
Saya lebih senang menyebut nama perempuan beranjak dewasa itu Sutinah. Dia bersama kedua orangtuanya yang sepuh, telah pula lama menyecap segala penderitaan di daerah itu. Penderitaan yang tak dapat lagi dibetikkan dari mulut. Mereka telah kebal.
Karena tiga anak-beranak itu bukanlah pendatang dari tanah Jawa---orang-orang yang sengaja dieksodus pemerintah. Mereka masyarakat pribumi, turun-temurun merasakan beratnya mencari penghidupan di tanah yang tandus itu.
Maka bukanlah salah pula Sutinah bermimpi sejahtera. Bukanlah salah dia ingin menyejahterakan dua orang sepuh itu. Dia sama sekali tak ingin seperti perempuan-perempuan di daerahnya, menunggu lelaki melamar, kemudian menikah, melahirkan, lalu melarat lagi.
Maka bukanlah salah pula dia menuruti ajakan Nyi Inoh---perempuan berbobot lebih delapan puluh kilogram itu---demi bertaruh hidup di negeri jiran. Menjadi TKW. Ah, sedemikian kuatkah godaan negeri jiran, seolah menyimpan pundi-pundi emas yang menggiurkan?
"Aku akan berangkat ke negeri jiran minggu depan." Itulah ucapan pertamanya setelah dia begitu tergoda cerita Nyi Inoh yang bermulut nyinyir.
"Negeri jiran? Betapa jauhnya!" Mata ibunya mengabut. Perempuan tua itu membayangkan negeri di balik awan. Dia takut akan kehilangan putri satu-satunya.
"Apakah kau memiliki modal?"Ayahnya lebih bijaksana berpikir. Lelaki tua itu tak memiliki janji apa-apa demi menahan langkah kaki putrinya. Dia hanya menjanjikan harapan-harapan hampa yang selalu hilang begitu saja dipapas badai angin paceklik.
"Nyi Inoh yang memodaliku!" Sebuah keputusan telak yang tak bisa diperbantahkan.
Sutinah menuruti kata hatinya. Dia kemudian sangat menikmati perjalanan bersama belasan perempuan yang setara umurnya di sebuah bis malam jurusan Jakarta-Medan. Dia melahap kota-kota dan pedesaan yang selalu bersilewaran dengan cerita gemerlap atau kemelaratan yang timpa-menimpa.