Husin tak hendak diajak berkelana malam itu. Tapi istrinya menyuruh menemani Kar. Bagi si istri, pekerjaan mencari sesuatu yang di-ngidamkan istri bunting, adalah pahala besar. Menjadi doa agar si jabang bayi kelak kuat berusaha siang-malam.
"Kau gila! Ke mana kita mencari ladang jagung, Kar?"
"Ke arah Jalan Tanjung Api-Api saja!" ketus Kar dari boncengan motor. Mata Husin hampir melompat. Jalan Tanjung Api-Api lumayan jauh.
"Aku belikan minyak motormu. Santai saja!" Kar seolah tahu apa yang menggerumit di kepala temannya. "Tapi aku bingung, Sin! Bagaimana caranya meminta atau membeli lima tongkol jagung kepada peladang, ya?" lanjut Kar.
"Otak udang! Maling saja! Masa' mengambil lima tongkol jagung saja bisa membuat peladang  jatuh miskin," geram Husin. Dia teringat istrinya. Dia masih mencium aroma sabun dari tubuh legit itu. Percuma! Malam itu Husin siap-siap pulang dan bertemu istrinya telah mendengkur.
"Maling itu kan dosa!"
"Kau tahu dosa? Hahaha, shalat dan puasa saja kau jarang-jarang!"
Kar dan Husin akhirnya tiba di dekat ladang jagung yang luas. Tongkol-tongkol jagung menjungak menggoda selera. Kar mengendap-endap melewati parit besar tanpa air. Husing menunggu di pinggir jalan dengan mesin motor menggerung. Dia berjaga-jaga, bila ada yang memergoki perbuatan Kar, dia bisa langsung tancap gas. Yang penting aman duluan.
Kar mengendus-endus. Hmm, apakah jagung layak diendus? Tapi jangan salah, endusan Kar hanya tersebab napasnya yang memburu. Dia takut terpergok.
Satu jagung dapat diambilnya, lalu dimasukkan ke dalam sarung. Dua jagung menyusul. Jagung ketiga. Jagung keempat. Kelima, dan...
"Brengsek! Tertangkap tangan kau sekarang! Rupanya selama ini, kaulah yang menghabisi jagung majikanku!" Tiba-tiba entah darimana, serombongan orang telah mengepungnya. Kar tak bisa melarikan diri. Tangannya digenggam erat-erat. Ucapan-ucapan membela diri, tentang jagung-jagung untuk ngidam istrinya, tak mendapat respon. Kecuali bak-buk pukulan tendangan membuatnya melenguh-lunglai.