Segera kucampakkan surat itu. Hati menjadi tak tenang. Pikiran melanglang. Ingin kukirim surat tak bersama cap bibir, melainkan dengan kata-kata. Tapi adakah Munah hasrat pada kata-kata? Ingin aku menelepon sekadar menyapa kabar dan mendengar suaranya. Tapi nomor yang mana harus kuhubungi?
Aku diombang-ambing bimbang. Aku merasa menjadi lelaki yang terbuang. Saat mengajar di sekolah, pikiranku teringat kepada Munah. Saat berkumpul di warung mendengar para lelaki yang senang membincangkan orang, hatiku bertambah saruk. Ada-ada saja cerita tentang perceraian si anu dengan si badu. Tentang perselingkuhan istri si ini dengan suami si itu. Perkelahian si badu dan si itu karena memperebutkan si anu. Aduhai, pusingnya pikiran! Semakin yakin aku kalau Munah sudah menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring, pandai berminyak air. Dia hanya mempermain-mainkanku. Sialan!
Biarlah cap bibirku tak melekat lagi di kertas surat itu. Biarlah Munah tak menerima lagi pesan cintaku. Bibirku terlalu suci untuk dicintai. Aku telah sanggup bertahun melajang hanya karena mengharap ketulusan cinta dari cap bibir Munah. Cinta terkadang sangat mengasyikkan, tapi tak jarang sangat menyakitkan.
Aku mencoba melupakan Munah. Aku tak lagi meletakkan surat cap bibir kami di bawah bantal. Tapi telah mendiamkannya dalam peti kayu tempat penyimpanan barang-barang yang tak diperlukan.
Aku mencoba menjaringkan hati ke perempuan lain. Kepada Linah, Habibah, Masrah. Hasilnya hatiku terikat kepada Masrah. Bukan karena huruf depan dan belakang Masrah adalah "M dan ah", melainkan bibirnya yang menyerupai milik Munah.
Tak perlu lagi menghitung waktu, pernikahanlah yang dituju. Ketika hatiku dan Masrah sedang berada di puncak keindahan, riuhlah kabar bahwa keluarga Munah singgah di kampung kami sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Medan.
Apakah kau tahu aku ibarat seorang yang berpenyakit borok? Badan alang-kepalang gatalnya. Digaruk luka, tak digaruk gatal menggila. Aku cemas bila Munah masih perawan lajang. Pasti dia akan mencapku lelaki tak setia. Sebaliknya aku berharap dia sudah bersuami dan beranak-pinak, meskipun masih ada sekelumit rasa di hati; cinta dan cemburu.
** *
Aku bertemu Lokot di perjalanan menuju sekolah saat pagi benar-benar ramah. Lokot adalah bapak Munah. Hatiku kebat-kebit. Aku telah mencoba tak bertemu Munah, juga keluarganya. Tapi apalah daya, terjebak, tak pula hendak diri berpaling.
"Maaf, kami baru datang lagi ke mari setelah sekian tahun terlewati. Sebenarnya tujuan kami ke Medan lewat udara. Tapi mengingat dirimu, rasanya kami telah membuat salah yang sangat besar bila tak memberitahumu."
Aku siap-siap menerima cerita Lokot dengan tabah. Aku tahu arah pembicaraannya. Munah pasti sudah berkeluarga, beranak-pinak. Sedikit tertusuk rasa di hati. Kami memang sudah sama-sama menikah. Namun dia lebih dulu melukai hatiku.