Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bibir Pos

17 Januari 2019   11:37 Diperbarui: 17 Januari 2019   13:26 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Merdeka.com

"Jarak yang memisahkan kalian bisa membunuh rasa cinta. Begitu banyak kumbang yang menarik melebihi kamu di negera tetangga. Bagaimana mungkin kau sangat yakin dia tak berkhianat? Kau hanya termakan angan-angan. Pacari saja si Linah, Habibah, Masrah. Semua nama itu selalu berakhiran "ah" seperti Mun-ah. Bukankah itu lebih baik ketimbang kau menjadi tua mengarat begini?"

"Aku tahu dia tetap setia!"

"Bagaimana mungkin?"

Meski malu, akhirnya aku meyakinkannya dengan kisah kirim-kiriman cap bibir antara aku dan Munah. Sesekali mata Misna membola. Sesekali mulutnya yang menganga seolah goa. Selebihnya dia cekakak-cekikik sambil memegangi perut.

Katanya, "Kau begitu mudah dibodohi. Apa kau tahu cap bibir yang di kertas surat itu memang cap bibir Munah? Apakah cap bibir itu jujur? Bisa saja itu bibir orang lain. Misalnya, bibir pacar Munah untuk mengerjaimu. Atau bibir suaminya." Misna tertawa lebar. "Aku merasa bodoh berkawan denganmu!"

Aku tersentak mengingat perbincangan dengan Misna. Segera aku duduk dan mengambil selembar surat dari bawah bantal. Kupelototi dua puluh pasang bibir lebih satu di kertas yang sudah menguning itu dengan beberapa bagian mengoyak. Kusimak setiap gurat di cap bibir Munah. Dan seketika hati ini tercabik.

Ada perbedaan masalah besar-kecil cap bibir Munah dari cap bibir yang satu dengan cap bibir lainnya. Namun aku belum menganggap itu persoalan. Bisa jadi cap bibir itu membesar ketika disentuh sesuatu yang lembab.

Hanya saja di hitungan cap bibir yang nomor lima belas hingga dua puluh satu, kejanggalan itu terlihat kentara. Posisi guratan bekas luka di cap bibir Munah sama sekali tak ada. Apakah bibirnya dioperasi plastik?

Hatiku tak tenang. Seharusnya semua ini harus ditanyakan lewat kata-kata. Atau lewat telepon. Email. Bagaimanapun jaman sudah berubah. Semua tak hanya bisa dibuktikan dengan cap. Cap bisa berdusta. Cap bisa dipalsukan.

Betapa bodohnya diri ini! Bisa jadi Munah sudah memiliki pacar di negeri orang. Bisa jadi tak hanya pacar, tapi suami, anak-anak. Hatiku menggerumit seperti dimamah ribuan belatung. Aku merasa menjadi si tolol yang idoat. Sah adanya bila bapakku berulang-ulang menyebutku si lapuk yang goblok. Lelaki yang tak memikirkan masa depan, selain hidup menjadi guru honor di sebuah sekolah rendahan. Seharusnya aku memikirkan istri, memikirkan anak. Bukan melulu mementingkan Munah yang belum tentu menganggapku penting.

"Umurmu sudah lapuk. Kapan lagi kau beristri? Sampai aku semakin tua dan mati?" Berkali-kali bapak meneror, seolah mengebor liang telingaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun