Bibir kami bertemu? Ah, tak! Tak bolehlah kau memikirkan yang jorok-jorok. Kami hanya mempertemukan bibir pada selembar kertas yang kami kirim lewat pos. Entah berapa bibir sudah melekat di kertas itu. Entah berapa hari, berapa minggu, berapa bulan.
Tak ada jam, hari, minggu dan bulan di kertas. Kami tak mencatat, karena cinta tak mengenal waktu. Kangen tak faham perguliran masa.
Tapi senja ini ketika pak pos tersenyum sumringah di balik pintu dengan selembar surat, terbetik ingin ini untuk menghitung berapa bibir yang telah melekat di kertas itu. Berapa bibir, berarti aku bisa menghitung berapa kali aku dan dia berkirim-balas. Ah, rinduku tak lagi menyerabut. Rinduku mengakar tunjang kepadanya.
Kukenalkan kau kepada Munah. Perempuan berdada sedang, bermata besar dan berbibir tipis. Dia adalah teman masa kecilku, teman masa remajaku dan teman masa dewasaku. Cinta tumbuh di hati kami dari butir, menjadi tunas, menjadi batang, menjadi daun, menjadi bunga, mengembang, menjadi harum, mengundang kumbang dan kupu-kupu.
Kami menjalani hari-hari dengan gembira. Sebagai perjaka tangguh, akulah pelindung Munah. Akulah yang menjaganya dari setiap lelaki penggoda. Munah sebagai perawan penerima, menunggu cintaku setiap hari. Menunggu rengkuhku, dan mengajaknya berjalan meniti pematang sawah menuju sekolah.
Kuharap pertemanan dan percintaaan kami berujung pernikahan. Kuharap pernikahan dan percintaan kami berpangkal peranakan. Tapi dua hati terpaksa luluh saat  Munah harus pergi ke negara tetangga mengikuti orangtuanya.
Kedua orangtuanya sepasang guru. Guru tari dari berbagai macam tarian daerah. Karena keberadaannya di daerah kami kurang diperhatikan, terutama masalah keuangan, maka mereka boyongan ke negeri tetangga. Ada tawaran menggiurkan di sana. Tentang kesejahteraan, tentang martabat dan penuntasan atas nama seni dan uang.Â
Kami jelas tak bisa menghindari ini, meskipun aku mencoba mengekang kaki Munah. Dia memiliki orangtua. Aku sebatas teman, sebatas kawan berkencan.
Aku melepaskannya setelah pertemuan terakhir kami di atas jembatan. Kami berjanji tak akan memutuskan ikatan batin.
"Aku akan mengirimimu surat tanpa kata-kata, tanpa memberitahu masa," katanya sambil mengibaskan rambutnya yang basah. Kuingat dia sangat matang. Berusia sekitar duapuluh empat tahun.
"Aku juga akan membalas suratmu tanpa kata-kata tanpa memberitahu masa," jawabku sambil merapikan anak rambutnya.