Tahukah kau perempuan itu? Dialah yang kupanggil Ibu. Meski tak ada pertalian darah sama sekali denganku, tapi lidahku fasih memanggilnya demikian.
Dia adalah sosok ringkih berusia hampir tujuh puluhan tahun. Rambutnya memutih. Sudah banyak tanggal. Tapi jangan tanya matanya, sangat awas. Telinganya juga terang, sehingga tiada seorang yang berani membicarakan yang bukan-bukan di dekatnya. Dia pasti ikut berceloteh, bila pembicaraan itu mengena di hatinya. Sebaliknya amarahnya memuncak manakala pembicaraan itu menusuk harga dirinya.
Sudah hampir lima tahun kami bertetangga. Walau tua dan mesti diperhatikan orang muda seperti aku, nyatanya dialah yang sering membantuku pabila susah. Pernah suatu kali aku diare.Â
Obat di warung telah kubeli biar mampet. Hasilnya tetap mengocor seperti air hujan yang mengalir di talang air rumah. Pun ketika dokter Sanusi menyuntik dan memberi obat paten, tetap saja aku harus hilir-mudik ke kakus dengan wajah meringis-ringis. Namun perantara tangan Ibu itu, meramu daun dan biji muda jambu klutuk, ajaib diareku sembuh.
Kataku kala itu, "Tangan Ibu memang tangan Tuhan. Seketika aku sembuh!"
"Husss! Tak baik begitu. Ibu hanya perantara. Tuhan jua yang menyembuhkan. Lagipula apa kau tahu Tuhan itu memiliki tangan seperti yang kau bayangkan?"
Biasanya aku hanya mesem-mesem lalu membelikannya sebungkus sate Padang sebagaimana kesukaannya sejak muda.
Terkadang aku malu kepadanya. Meski hanya sendirian di rumah pensiunan itu, tapi dia seolah tak merasa kesepian. Dia tiada merasa renta, kendati waktu telah meraut usianya sampai runcing. Pun dia masih senang berkebun. Hingga kau pasti membelalak begitu melongok ke halaman belakang rumahnya, rimbunan ubi jalar menggelora. Bagaimana mungkin tangan gigihnya menanam bibit ubi, menjaganya sampai besar dan terhindar dari gulma, bahkan memanennya?
"Tuhan telah memberikanku usia dan kekuatan jasmani. Kenapa aku harus merasa lemah dan berleha-leha?" tekannya ketika aku meminta agar dia mempekerjakan satu atau dua orang buruh kebun.
Semangat tinggi dari seorang ibu yang selalu kuacungi jempol. Perempuan bermata cemerlang dengat tatap nyala, seperti mendiang suaminya yang pejuang. Dia bergelora, dan selalu menganggapku anak bawang. Karena aku hanyalah pekerja kantoran yang kerap mengeluh sebab pihak perusahaan tak memahami kondisi karyawan. Bekerja serupa mesin. Pulang-pulang letih ketika malam menjelang. Tentu tanpa ada hitung-hitungan lembur, atau kompensasi apapun.
"Itulah salahmu! Senang mengeluh. Tak kau bayangkan bagaimana dulu pejuang mencoba memerdekakan negeri ini? Tak ada pembayaran, selain kelaparan mencekik, dan harus bertarung dengan dua tujuan; hidup atau mati. Ini, kau hanya duduk di kantor sambil memegang pena, sudah banyak mengeluh. Terpakai sedikit waktu bersantai malammu, merutuk tak ketulungan. Sudahlah, bekerja jangan mengeluh-ngeluh. Bila sudah bosan, berhenti sajalah. Bersantai di rumah sambil melihatku memanen ubi jalar. Jadilah bersantap sepuasmu sampai perut kembung dan kentutmu besar." Ibu  tertawa ngekeh sampai gigi-giginya yang tak utuh lagi kelihatan jelas. Aku biasanya hanya membuang napas lega.