Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Istana Tepung

16 Januari 2019   13:31 Diperbarui: 16 Januari 2019   13:44 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Akankah suatu hari dia meninggalkan istana yang bertepung itu? Aku sudah muak dianggap sebagai jam dinding yang rutin berputar setiap hari, setiap minggu, setiap bulan. Pagi-pagi berangkat kerja, sore hari pulang, dan malam hari duduk sendirian menonton tivi yang terkadang sama memualkan dengan tingkahnya.

Entah kenapa dia sekarang demikian. Atau, apakah ini salahku yang menuruti seleranya memperindah dapur? Mengecatnya dengan warna biru langit. Membelikan kompor gas baru, oven, mixer, blender, serta beragam alat masak. Dulu kupikir ini akan menjaga keharmonisan kami. Tapi aku salah besar. Sekarang aku lebih sering dipunggungi badan bertepung dan bau mentega, dan bau daging, amis ikan, bawang merah. Ach, kepalaku pening!

Sore ini dia juga tak menyambutku di depan pintu. Seperti biasa yang kami lakukan berbilang bulan lalu. Ini untuk kali kesekian. Aku harus membuka pintu sendirian. Aku memang membawa kunci serap. Dulu itu idenya, menempa kunci serap ke tukang kunci. Katanya biar kami tak repot. Aku setuju awalnya. Belakangan menyesal. Dengan kunci serap tak ada lagi alasan bagiku memaksanya menyambutku di depan pintu.

"Kusut benar, Umar!" Ahdi mendongakkan kepala dari dinding pembatas ruang kerja kami. Kusimpan gelas yang mengotori meja ke dalam laci. Telah hampir sebulan puasa. Terlalu aku membiarkan gelas itu berdebu di atas meja. Kendati lakuku itu hanyalah untuk menghindar dari tatap curiga Ahdi. "Ramadhan tahun lalu kau selalu ceria. Kenapa sekarang kusut seperti dompet tanggung bulan begitu? Ada masalah dengan istri?"

Aku menggeleng. Sepintas wajah bertepung hadir di layar komputer. Aku mengucek mata dan membuangnya dari alam khayal. Ahdi kembali sibuk dengan lembar kerjanya. Sementara kusempatkan melihat layar ponsel. Ada sms Mira. Hmm, aku tersenyum, mecoba melupakan wajah bertepung itu.

"Sudah kubilang, lupakan saja dia!" Tawa Mira menyambutku di kafe itu. Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit. Kebetulan aku ada urusan di luar kantor. Jadi sekalian saja memaling waktu menemui Mira. "Mau pesan apa?"

"Aku puasa!" jawabku tegang. Beberapa lelaki-perempuan sedang bersantap di meja-meja sebelah kami.

"Hmm, sayang sekali! Tapi tak apalah. Aku pesan makanan untukku. Tak enak duduk-duduk di sini tanpa makan apapun." Dia menyeringai. Semakin cantik saja dia dengan gigi ginsulnya yang menyembul. "Sudah kau katakan kepadanya tentang hubungan kita?"

"Hubungan kita?" Aku tergeragap. Sungguh, aku tiba-tiba takut mendengar pertanyaannya. Aku memang kesal kepada perempuan bertepung itu. Aku ingin membalas dendam dengan menyelingkuh. Ya, sekadar rencana menyelingkuh. Tak sampai harus serius, misalnya meretakkan hubungan kami, dan mengambil Mira sebagai pengganti. Aku belum terlalu tegar untuk melakukannya. "Nanti sajalah!" lanjutku.

Dia melotot. "Nanti? Sampai kapan aku harus menunggu?"

"Kita kan baru dua minggu berkenalan. Butuh penjajakan!"

"Kau takut mengatakan hubungan kita kepada istrimu? Lalu, sampai kapan? Aku tak ingin digantung. Aku ingin bersuami, bukan menjadi pasangan selingkuh. Katakan saja kau ingin menceraikannya, kemudian kita menikah. Jangan membuatku terlalu lama menunggu, Mas!" Tekannya dengan mata melotot. Aku membuang wajah. Kulihat sepasang insan yang bergandengan mesra di luar sana.

Kami kemudian tak banyak berbincang. Hingga sore hari kuputuskan duduk sendirian di bazar makanan sepulang kerja. Kupikirkan matang-matang agar langkahku tak salah. Sedikit aku menyalahkan diri sendiri. Kenapa perkara istana tepung,  aku sedemikian kejam ingin menceraikan perempuan itu. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan keterusterangan? Dengan bincang-bincang dari hati ke hati. Kalaupun akhirnya dia alot mempertahankan laku memualkan itu, toh aku agak tenang memutuskan langkah selanjutnya. Lagi pula, orang-orang akan mencemooh, jika kami bercerai oleh perkara sepele. Tapi akankah aku betah menjadi jam dinding yang berbulan-bulan meilhat perempuan bertepung dan bau?

Suasana bazar semakin ramai. Waktu berbuka puasa sudah dekat. Sekejap ponselku berbunyi. Dari perempuan itu. Aneh! Tak pernah-pernah dia meneleponku pada sore menjelang maghrib begini. Kendati di Ramadhan seperti sekarang. Paling-paling dia hanya mengirim sms, menanyakan aku berada di mana. Sudah. Hanya sebatas itu.

Menganggap panggilannya tak perlu direspon, kubiarkan ponselku menjerit-jerit kelelahan sampai akhirnya mati. Biarlah aku menghukum perempuan itu, sesekali. Biar dia sadar masih memiliki suami. Aku memang doyan makan. Senang kepada istri yang mencintai dapur dan pandai mengolah makanan. Tapi kalau dapur dijadikan istana, sementara ruang keluarga dan tempat tidur dianggap keset kaki, lalu apa artinya diriku?

Aku butuh seseorang yang bisa menampung keluh-kesah, sekaligus bisa memberikan solusi. Itulah sebenarnya guna utama seorang istri---menurutku. Kecuali tentu saja sebagai pelengkap urusan di tempat tidur.

Pukul delapan malam aku baru pulang ke rumah. Telah lewat shalat maghrib, dan aku merasa sudah membalas dendam kepada perempuan itu. Ada lima sms darinya di ponselku, empat panggilan tak berjawab. Kuusap wajah. Terasa senyumku lebih lebar dari hari-hari kemarin. Motor kutunggangi. Kunikmati suasana kota sama seperti saat aku melajang. Sebuah sms dari Mira mengganggu. Kubiarkan tanpa membalas. Kubiarkan tanpa menghapusnya, seperti yang biasa kulakukan sejak smsnya kali pertama.

Pukul sembilan malam aku baru tiba di rumah. Perjalanan yang lumayan lambat. Biasanya perjalanan dari basar makanan itu menuju rumah, ditempuh selama seperempat jam dengan kecepatan motor enam puluh kilometer per jam. Ini memang kusengaja. Kembali senyumku mengambang.

Aku tak berharap perempuan itu menungguku seperti yang jamak terjadi berbilang bulan ini. Kubuka pintu dengan kunci serap. Tapi aku harus terkejut ketika menyadari lampu masih menyala di ruang tamu. Kulihat perempuan itu duduk di sofa. Tak ada emosi di wajahnya, kecuali hanya senyum yang mungkin sedikit dipaksakan. Seharusnya aku masuk kamar saja. Namun panggilan perempuan itu membuatku harus berbelok dan duduk di sofa seberangnya.

"Lembur ya, Mas?"

"Hmm!" Kuharap dia mencak-mencak. Aku tentu saja mendapat kesempatan emas membalasnya dengan gelombang amarah yang terlalu lama saling menghempas di dalam hatiku. Tapi ini, dia selembut salju. Amarahku yang menggelegak menjadi dingin.

"Alhamdulillah, Mas. Lebaran ini kita tak perlu berpanas ketika mudik menjenguk Emak dan Bapak. Dengan uang hasil menjual kue-kue yang kutitipkan di beberapa toko, juga ditambahkan gaji Mas, kita bisa membeli mobil."

"Membeli mobil?" Aku terlonjak.

"Sebenarnya belum lunas. Baru sebagian yang kubayar. Mobil itu bekas mobil Kak Syaf. Dia bersedia mobilnya kucicil. Ya, nanti Mas juga tak usah berpanas-panas pergi-pulang kantor. Tak kena hujan dan masuk angin." Dia menggeser piring makanan di meja ke dekatku. "Maaf juga salahku selama ini kurang memerhatikan Mas dan terlalu sibuk di dapur. Ya, semua ini karena aku sangat ingin kita memiliki mobil. Kita bisa pergi ke mana-mana dengan anak tanpa takut kepanasan dan kehujanan. Apa yang kulakukan, tak salah kan, Mas?"

Mataku terasa pedas. Lidahku kelu. Senyum perempuan itu semakin lebar.

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun