"Kau takut mengatakan hubungan kita kepada istrimu? Lalu, sampai kapan? Aku tak ingin digantung. Aku ingin bersuami, bukan menjadi pasangan selingkuh. Katakan saja kau ingin menceraikannya, kemudian kita menikah. Jangan membuatku terlalu lama menunggu, Mas!" Tekannya dengan mata melotot. Aku membuang wajah. Kulihat sepasang insan yang bergandengan mesra di luar sana.
Kami kemudian tak banyak berbincang. Hingga sore hari kuputuskan duduk sendirian di bazar makanan sepulang kerja. Kupikirkan matang-matang agar langkahku tak salah. Sedikit aku menyalahkan diri sendiri. Kenapa perkara istana tepung, Â aku sedemikian kejam ingin menceraikan perempuan itu. Bukankah semua bisa diselesaikan dengan keterusterangan? Dengan bincang-bincang dari hati ke hati. Kalaupun akhirnya dia alot mempertahankan laku memualkan itu, toh aku agak tenang memutuskan langkah selanjutnya. Lagi pula, orang-orang akan mencemooh, jika kami bercerai oleh perkara sepele. Tapi akankah aku betah menjadi jam dinding yang berbulan-bulan meilhat perempuan bertepung dan bau?
Suasana bazar semakin ramai. Waktu berbuka puasa sudah dekat. Sekejap ponselku berbunyi. Dari perempuan itu. Aneh! Tak pernah-pernah dia meneleponku pada sore menjelang maghrib begini. Kendati di Ramadhan seperti sekarang. Paling-paling dia hanya mengirim sms, menanyakan aku berada di mana. Sudah. Hanya sebatas itu.
Menganggap panggilannya tak perlu direspon, kubiarkan ponselku menjerit-jerit kelelahan sampai akhirnya mati. Biarlah aku menghukum perempuan itu, sesekali. Biar dia sadar masih memiliki suami. Aku memang doyan makan. Senang kepada istri yang mencintai dapur dan pandai mengolah makanan. Tapi kalau dapur dijadikan istana, sementara ruang keluarga dan tempat tidur dianggap keset kaki, lalu apa artinya diriku?
Aku butuh seseorang yang bisa menampung keluh-kesah, sekaligus bisa memberikan solusi. Itulah sebenarnya guna utama seorang istri---menurutku. Kecuali tentu saja sebagai pelengkap urusan di tempat tidur.
Pukul delapan malam aku baru pulang ke rumah. Telah lewat shalat maghrib, dan aku merasa sudah membalas dendam kepada perempuan itu. Ada lima sms darinya di ponselku, empat panggilan tak berjawab. Kuusap wajah. Terasa senyumku lebih lebar dari hari-hari kemarin. Motor kutunggangi. Kunikmati suasana kota sama seperti saat aku melajang. Sebuah sms dari Mira mengganggu. Kubiarkan tanpa membalas. Kubiarkan tanpa menghapusnya, seperti yang biasa kulakukan sejak smsnya kali pertama.
Pukul sembilan malam aku baru tiba di rumah. Perjalanan yang lumayan lambat. Biasanya perjalanan dari basar makanan itu menuju rumah, ditempuh selama seperempat jam dengan kecepatan motor enam puluh kilometer per jam. Ini memang kusengaja. Kembali senyumku mengambang.
Aku tak berharap perempuan itu menungguku seperti yang jamak terjadi berbilang bulan ini. Kubuka pintu dengan kunci serap. Tapi aku harus terkejut ketika menyadari lampu masih menyala di ruang tamu. Kulihat perempuan itu duduk di sofa. Tak ada emosi di wajahnya, kecuali hanya senyum yang mungkin sedikit dipaksakan. Seharusnya aku masuk kamar saja. Namun panggilan perempuan itu membuatku harus berbelok dan duduk di sofa seberangnya.
"Lembur ya, Mas?"
"Hmm!" Kuharap dia mencak-mencak. Aku tentu saja mendapat kesempatan emas membalasnya dengan gelombang amarah yang terlalu lama saling menghempas di dalam hatiku. Tapi ini, dia selembut salju. Amarahku yang menggelegak menjadi dingin.
"Alhamdulillah, Mas. Lebaran ini kita tak perlu berpanas ketika mudik menjenguk Emak dan Bapak. Dengan uang hasil menjual kue-kue yang kutitipkan di beberapa toko, juga ditambahkan gaji Mas, kita bisa membeli mobil."