Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara di Balik Dinding

14 Januari 2019   14:36 Diperbarui: 14 Januari 2019   14:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi setelah dia meninggal dunia, aku tersadar telah terjerembab dalam lumpur kebodohan. Jabatanku basah, dan uang mengalir seperti air sungai. Telah berulang-ulang anak-istri, bahkan teman-teman dekat,  memintaku untuk sedikit bermain. Aku perlu mobil untuk bergaya, perlu rumah tipe seratus. Anak-anak mestinya sekolah di sekolah elite. Istri harus lebih gaya, banyak teman dan menjadi anggota arisan istri-istri orang kaya.

Ternyata ketika aku mencoba membendung sedikit aliran uang yang melulu masuk ke kas perusahaan, mengalihkannya ke kas keluargaku, terasa ada denyar menggoda. Aku kemudian memiliki banyak teman. Aku merasa mapan. Ya, uang lebih sering membutakan orang.

"Hai, kau!"

Aku tersentak. Urung kusuapkan sejumput sayur ke mulut. Suara di balik dinding entah menegur siapa.

"Anda menegurku?" Aku berhenti makan. Kurengkuh batangan jeruji besi. Ini kali pertama aku berani mengajak suara tanpa wujud itu berbicara.

"Ya, aku menegurmu!"

"Kau siapa? Malaikat pencabut nyawa?"

Dia terkikik. Persis suara kuntilanak. Tapi, lagi-lagi wujudnya kosong. "Malaikat? Aku malaikat? Oh, betapa tingginya tahtaku kau anggap, teman. Lihatlah, aku. Apa matamu buta?"

Kucoba longokkan kepala yang mustahil bisa melintasi sela batangan jeruji besi. Tak sesiapa di sini. Angin berhembus menerpa rambutku. "Kau di mana? Jangan membuatku semakin kesal!  Enyahlah kau halusinasi!" Kubenturkan pelan kening ke batangan jeruji besi.

"Halusinasi? Kau hampir menginjakku, teman!"

Aku terpekik. Di dekat kakiku seekor tikus menggerak-gerakkan kumisnya. Apakah binatang pengerat menjijikkan itu yang berbicara? Ach, aku memang sudah gila! Kulemparkan nampan ke arah tikus yang langsung berlari tunggang-langgang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun