Tapi setelah dia meninggal dunia, aku tersadar telah terjerembab dalam lumpur kebodohan. Jabatanku basah, dan uang mengalir seperti air sungai. Telah berulang-ulang anak-istri, bahkan teman-teman dekat, Â memintaku untuk sedikit bermain. Aku perlu mobil untuk bergaya, perlu rumah tipe seratus. Anak-anak mestinya sekolah di sekolah elite. Istri harus lebih gaya, banyak teman dan menjadi anggota arisan istri-istri orang kaya.
Ternyata ketika aku mencoba membendung sedikit aliran uang yang melulu masuk ke kas perusahaan, mengalihkannya ke kas keluargaku, terasa ada denyar menggoda. Aku kemudian memiliki banyak teman. Aku merasa mapan. Ya, uang lebih sering membutakan orang.
"Hai, kau!"
Aku tersentak. Urung kusuapkan sejumput sayur ke mulut. Suara di balik dinding entah menegur siapa.
"Anda menegurku?" Aku berhenti makan. Kurengkuh batangan jeruji besi. Ini kali pertama aku berani mengajak suara tanpa wujud itu berbicara.
"Ya, aku menegurmu!"
"Kau siapa? Malaikat pencabut nyawa?"
Dia terkikik. Persis suara kuntilanak. Tapi, lagi-lagi wujudnya kosong. "Malaikat? Aku malaikat? Oh, betapa tingginya tahtaku kau anggap, teman. Lihatlah, aku. Apa matamu buta?"
Kucoba longokkan kepala yang mustahil bisa melintasi sela batangan jeruji besi. Tak sesiapa di sini. Angin berhembus menerpa rambutku. "Kau di mana? Jangan membuatku semakin kesal! Â Enyahlah kau halusinasi!" Kubenturkan pelan kening ke batangan jeruji besi.
"Halusinasi? Kau hampir menginjakku, teman!"
Aku terpekik. Di dekat kakiku seekor tikus menggerak-gerakkan kumisnya. Apakah binatang pengerat menjijikkan itu yang berbicara? Ach, aku memang sudah gila! Kulemparkan nampan ke arah tikus yang langsung berlari tunggang-langgang.