Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara di Balik Dinding

14 Januari 2019   14:36 Diperbarui: 14 Januari 2019   14:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara-suara itu tiba-tiba menghilang seiring bunyi kaki yang deras menerabas. Disusul suara detak sol sepatu. Seorang lelaki membuka jeruji besi. Dia tak bersuara. Meletakkan begitu saja nampan besi dengan piring seng berisi nasi dan lauk di atas lantai. Juga secangkir air putih. Ketika keluar ruangan dan menutup jeruji besi tanpa menoleh, kupanggil dia, "Pak, sebentar. Aku ingin bertanya."

"Bertanya apa?" Sinis tatapnya. Seolah aku binatang paling sial di dunia.

"Apakah ada orang, maksudku dua orang di ruang sebelah?" Kurengkuh batang jeruji besi.

"Kau sudah gila! Tak ada ruangan di sini selain ruanganmu."

"Tapi aku seperti mendengar suara-suara di balik dinding."

"Seperti mendengar suara-suara di balik dinding? Itu baru seperti! Bukan benar-benar mendengar suara itu. Kau hanya berhalusinasi!"

"Pak!"

Dia bergegas melalui koridor. Entah berapa kali dia mendengus.

Aku teringat cerita Mas Iruf lima bulan lalu. Sebelum Ronggur, rekan kerja kami, meninggal dunia, dia sempat bercerita kepada Mas Iruf perihal suara-suara tanpa wujud. Akankah aku mengalami kejadian yang sama, mendengar suara-suara sebelum ajal memenggal leherku? Adakah suara-suara itu suara kematian?

Aku menggigil. Nampan di lantai kugeser perlahan.

Penyesalan kemudian melingkar kepala. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Mendiang Bapak suatu kali mengingatkan, agar aku bekerja dengan tulus-ikhlas. Bekerja dengan jujur, meskipun seibarat ikan yang hidup di laut. Boleh saja air laut berasa sangat asin, tapi daging ikan tetap harus tawar. Kau tahu arah pembicaraan mendiang Bapak, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun