Suara-suara itu tiba-tiba menghilang seiring bunyi kaki yang deras menerabas. Disusul suara detak sol sepatu. Seorang lelaki membuka jeruji besi. Dia tak bersuara. Meletakkan begitu saja nampan besi dengan piring seng berisi nasi dan lauk di atas lantai. Juga secangkir air putih. Ketika keluar ruangan dan menutup jeruji besi tanpa menoleh, kupanggil dia, "Pak, sebentar. Aku ingin bertanya."
"Bertanya apa?" Sinis tatapnya. Seolah aku binatang paling sial di dunia.
"Apakah ada orang, maksudku dua orang di ruang sebelah?" Kurengkuh batang jeruji besi.
"Kau sudah gila! Tak ada ruangan di sini selain ruanganmu."
"Tapi aku seperti mendengar suara-suara di balik dinding."
"Seperti mendengar suara-suara di balik dinding? Itu baru seperti! Bukan benar-benar mendengar suara itu. Kau hanya berhalusinasi!"
"Pak!"
Dia bergegas melalui koridor. Entah berapa kali dia mendengus.
Aku teringat cerita Mas Iruf lima bulan lalu. Sebelum Ronggur, rekan kerja kami, meninggal dunia, dia sempat bercerita kepada Mas Iruf perihal suara-suara tanpa wujud. Akankah aku mengalami kejadian yang sama, mendengar suara-suara sebelum ajal memenggal leherku? Adakah suara-suara itu suara kematian?
Aku menggigil. Nampan di lantai kugeser perlahan.
Penyesalan kemudian melingkar kepala. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Mendiang Bapak suatu kali mengingatkan, agar aku bekerja dengan tulus-ikhlas. Bekerja dengan jujur, meskipun seibarat ikan yang hidup di laut. Boleh saja air laut berasa sangat asin, tapi daging ikan tetap harus tawar. Kau tahu arah pembicaraan mendiang Bapak, kan?