Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sairah

14 Januari 2019   11:22 Diperbarui: 14 Januari 2019   11:37 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sairah merasa memang lebih enak menjanda. Tak ada suami kasar seperti Barda yang mengisi hari-harinya dengan luka dan tangis. Dia bebas mau memasak apa saja, atau sama sekali tak memasak dan membeli nasi Padang. Hanya saja status janda menjadi sangat membahayakan bagi para perempuan di daerah itu.

Tentulah banyak yang menuduh Sairah ada main dengan suami si anu. Atau sekali waktu orang mengatakan pernah melihatnya berjalan mesra dengan anak si anu. Itulah yang ingin dihindarinya. Bersama Barda gosip murahan itu terpupus. Ah, Sairah tak tahu entah sampai kapan dia sanggup menjalani masa-masa yang melelahkan bersama seorang Barda.

* * *

Malam ini Sairah masih menunggu Barda di ambang jendela. Hampir pukul sebelas. Entah ke mana laki-laki brengsek itu. Biasanya sebelum pukul sepuluh malam dia sudah di rumah. Kesetanan membuka tudung saji, kemudian menghabiskan segala makanan yang ada di bawahnya.

Sebersit keinginan menjalari pikiran Sairah. Semoga saja Barda mengalami masalah di luar sana. Misalnya, mabuk-mabukan dan digrebek polisi. Dia digelandang ke kantor polisi untuk mencecap hukuman barang sejenak. Atau, moga saja dia berkelahi. Moga saja musuhnya bisa mengoyak perut Barda dengan pisau. Kemudian dia mati dengan kaki yang mengejang-ngejang.

Tapi harapan Sairah tak terkabul. Barda muncul di ujung gang. Seperti biasa terseok-seok. Begitu sampai di teras rumah, dia muntah. Bau masem menyebar ke mana-mana. Sairah bergegas membuka pintu. Dia tak ingin kena damprat untuk kesekian kalinya.

Barda menceracau. Tubuhnya langsung berdebam di atas lapik tipis. Dia ingin punggungnya dikerik Sairah, seperti biasa bila dia merasa masuk angin. Pekerjaan rutin yang selalu membuat hati Sairah mengkal. Bila Barda tak ingin dikerik, toh Sairah bisa cepat tidur setelah menghidangkan makanan untuk suaminya itu.

Sairah segera mengambil uang benggol. Dia mulai melukis punggung Barda. Mula-mula garis-garis pendek, lalu memanjang. Barda berulang-kali bersendawa. Berkali-kali membuarkan hawa tak sedap.

"Cepat kerik kalau kau tak ingin dikurung di kamar mandi," ancam Barda. Sairah terkejut. Tangannya mengapung di atas punggung Barda. "Ayo, jangan melamun! Keriklah!" Hati Sairah membara. Tapi dia langsung mengerik sampai dengkur Barda terdengar sangar. Mirip benar suara gergaji yang mengoyak seinci demi seinci kayu gelondongan.

Mengapa aku sangat tabah menghadapi bajingan satu ini? Mengapa aku tak pernah melawan sedikit pun, semisal mengucapkan kata ah? Bibir Sairah bergetar. Dia mulai melukis punggung Barda.

Tiba-tiba terbersit keinginan di hati perempuan ini membenamkan uang gobang ke kulit badak suaminya. Menarik garis miring keras-keras. Hingga tak hanya merah padam yang terlihat. Melainkan cairan merah berupa darah. Alangkah nikmatnya melihat darah memancar-mancar. Mata Sairah pun mengerjap-ngerjap seperti kelilipan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun