Buru-burulah Jalateung pulang ke rumah tanpa menyudahi cerita di tivi itu. Tiga bubu langsung dibawanya ke sungai. Dia berkhayal, andaikan mendapat satu berlian di setiap bubunya, maka tiga bubu bisa berisi tiga berlian. Jalateung tentu saja akan kaya mendadak. Dia akan membeli mobil sedan. Dia akan menaikinya keliling kota. Aih, aih! Tak sadar hatinya bernyanyi. Tak lupa kakinya bergaya menginjak pedal gas dan kopling. Tangannya bergerak seperti memutar kemudi. Sekali-kali mulutnya berbunyi tin-tin-tin. Akhir yang didapat dari khayalan itu, Jalateung terpeleset di tebing. Tubuhnya dan tiga bubu langsung terjerumus ke sungai. Nasib baik dia tak luka. Naas bagi bubunya. Dua bubu patah-mematah. Tinggal satu bubu yang masih utuh.
"Jangan lupa langsung titip ke lapau semua ikan tangkapan! Hari ini kita bersayur nangka saja. Biar hemat!" jerit istrinya saat Jalateung melompati parit di belakang rumahnya, menuju pematang sawah yang  mengarah ke sungai.
Jalateung pura-pura tak mendengar. Pikirannya dipenuhi berlian dan berlian. Dia menyesal dua bubunya rusak oleh khayal-khayalan tadi malam. Maka sekali ini dia memutuskan untuk tak berkhayal lagi. Bahkan ketika Jabiring menegurnya dari sopo1) joged, teman kita ini hanya melenguh laksana sapi.
Orang tak boleh tahu aku akan kaya raya. Matilah nanti diminta bagian. Lagi pula aku tak ingin Sangkot yang keluar-masuk penjara itu, tahu aku mendapat berlian. Habislah semua dirampoknya.
Berbagai perasaan menyatu dalam benak Jalateung. Belit-membelit prasangka  membuat badannya panasnya dingin. Dia melewati tebing tempat dia jatuh. Sesekali dia memanjangkan leher, melihat ke aliran sungai. Belum ada orang yang merapat di sana, baik di hulu maupun di hilir. Kebetulan yang menyenangkan. Buru-buru Jalateung merosot ke sungai saking tak tahan ingin melihat apa yang sangkut di bubunya. Pantat celana menjadi merah. Punggung bajunya basah.
Tapi alangkah kecewanya hati Jalateung. Bukan berlian yang sangkut di bubunya. Hanya selendang yang membelit. Meradang, meradanglah kau, Jalateung. Jangan pernah berharap sesuatu tanpa kerja keras. Disentakkannya selendang itu. Terlepas juga, seiring bubunya patah.
Dia enggan pulang ke rumah. Pasti tak ada yang didapat kecuali omelan istrinya. Belum lagi kalau perempuan itu tahu tiga bubu telah dirusak Jalateung. Piring dan cangkir kaleng pastilah ikut bernyanyi. Berkelontangan bersama panci dan kuali. Bagaimana pula tak sakit hati. Berpayah-payah si istri menarung keringat untuk menyisihkan hasilnya demi membeli bubu untuk Jalateung. Konon sekarang semuanya telah almarhum. Ladalah! Lebih baik angkat kaki dan menyusun alasan tentang ketiga bubu itu. Misalnya mengatakan bubu hanyut karena air sungai mengamuk.
Selendang sialan itu dia sumpalkan di lumpur sawah. Kakinya letoi menuju lapau Ronggur. Tak tegak-tegak kepalanya seperti biasa dia datang ke tempat paling santai itu. Tegak sebagai pembual kelas wahid. Sekarang dia merasa kalah. Sekarang dia tak ingin berbicara terlalu banyak.
"Hai, Tuanku Pencerita, gerangan apa dikau murung begini?" Jaloting tertawa menyambutnya. Dia menggeser pantat agar teman kita ini bisa duduk dengan nyaman. "Berceritalah sebait dua, biar lapau ini segar."
"Aku telah gagal!" Jalateung langsung bercerita tentang Pak Belalang di tivi. Juga tentang berlian, tentang bubu, dan cita-citanya mendadak kaya. Hasilnya tiga bubu rusak. Hanya selendang sialan yang tersangkut dibubu dan telah dimusnahkannya di lumpur sawah.
"Hai, kenapa kau buang selendang itu? Siapa tahu itu salah satu selendang dewi dari kahyangan. Pernahkah kau mendengar cerita tentang si Jaka Tarub? Bayangkan kalau dapat memperistrinya. Bayangkan kalau dia bisa memberimu harta-melimpah ruah. Lagi pula tak ada dewi kahyangan yang cerewet. Rata-rata dewi kahyangan cantik menggoda. Alah, bodohnya dikau!"