Jangan sekali-sekali kau berani memanggil nama Jalateung dengan memapas kata eung. Karena di Palembang, kata itu terdengar jorok. Tak pantas! Berbeda dengan di kampung kelahiranku di pinggiran selatan Sumatera Utara. Terserah kau mau memanggilnya dengan kata itu, Eung, atau apa sajalah! Jalateung lahir dan besar di Sumatera Utara.
Tapi kita jangan berpanjang-panjang mempermasalahkan nama Jalateung. Karena Shakespeaere saja pernah mengatakan, apalah arti sebuah nama. Janganlah pula kita berpanjang-panjang dengan hidung jambu bolnya. Bibirnya yang legam dan tebal itu. Matanya yang sayup-sayup tak sampai. Tubuhnya yang gempal pendek. Tidak! Segeralah tinggalkan itu.
Kukenalkan kepadamu, bahwa teman kita ini paling senang berlapau. Kau tahu lapau, kan? Di sana bisa kau temui laki-laki bersarung yang ramai. Asap rokok yang menghalimun. Ceracau tak karuan, bual-bualan bercampur aroma kopi.
Di situlah sebenarnya hidup mati Jalateung. Dia pembicara utama. Corong bual-bualan selalu ada padanya. Maka jangan salahkan dia, bila matahari masih enggan merangkak di punggung bukit barisan yang menjulang, dia sudah duduk di lapau sambil mengangkat sebelah kaki. Dia memesan secangkir kopi yang sangat kental. Karena diharapkan, kalau sampai petang dia berlapau, kopi secangkir itu tetap cukup. Tentu saja dengan program isi-ulang dengan air putih. Tentu saja kopi yang sangat kental itu bisa berubah seterang fajar.
Jangan kata pula istrinya merutuk terus di rumah. Kerja berlapau, membuat istrinya harus bekerja membanting tulang, menjadi buruh di sawah Sutan Marpaung. Sekali-sekali diselingi menderes karet. Sementara Jalateung, kerjanya sesenang hati saja. Istilah kampung kami, sir-siran. Lagi angin baik, malam-malam dia tahan berendam di sungai demi memasang bubu. Lumayanlah di pagi hari beroleh ikan segar. Sebagian dijadikan lauk, sebagian lagi dititipkan di lapau. Lapau-lapau di situ selain untuk mengopi, adalah pula bagian depan atau terasnya dijadikan tempat berjualan perlengkapan dapur. Sebut sajalah kedai sampah.
"Kerja berlapau terus... Apa lapau bisa dijadikan makanan?" gerutu istrinya, menyambut sang laki dengan bau sarung yang khas. Apek bukan kepalang.
Jalateung kita ini biasanya langsung ke kamar mandi tanpa menjawab sepatah pun. Cuci muka, kemudian mendengkur di bale-bale sampai maghrib. Selepas shalat maghrib, berlapau lagi hingga menjelang pergantian hari.
Ya, terkadang ada sukanya juga berlapau. Daripada mendengar omelan istri terus, baiklah membual-bual saja. Nasib baik ada yang senang dengan bualan Jalateung. Jadilah mendapat rokok gratis, ketan gratis, kacang arab gratis ditambah kopi susu satu gelas. Kalau nasib lagi apes, hanya kopi secangkir itulah sampai sore. Selebihnya melaratlah sambil mengunyah pinang muda. Berlapau malam hari biasanya dia hanya memesan air putih. Bual-bualan terkadang tak laku karena diselang-selingi irama Malaysia dari radio yang kemerosok.
* * *
Pagi ini ada yang berubah pada diri Jalateung. Selepas bangun, dia tak langsung ke lapau. Dia malahan buru-buru ke sungai melihat bubu. Pasal yang menggelitik hatinya karena tadi malam, Ronggur, si pemilik lapau langganannya, menyediakan hiburan baru. Sebuah tivi hitam putih ukuran empat belas inchi. Kebetulan pula tivi yang dinyalakan dengan aki bekas itu, menyiarkan program tvri; cerita tentang Pak Belalang. Kau tahu cerita Pak Belalang khas Melayu Deli itu kan? Maka Jalateung betahlah duduk seperti patung. Matanya mencorong melihat kehidupan sehari-hari Pak Belalang yang mengandalkan bubu sebagai mata pencarian. Sangat mirip dengan Jalateung. Selain bermata pencarian dari bubu, mereka juga sama-sama besar mulut alias pembual. Dalam cerita itu, suatu pagi Pak Belalang menemukan berlian di bubunya. Itulah  pembeda yang kentara antara Pak Belalang dengan Jalateung.
Kenapa Belalang bisa beroleh harta, sementara dia tidak?