Kupukul pelan lengannya. Kukatakan dia bercanda. Tapi wajahnya terlihat amat serius. Dia setengah menyeretku ke cermin yang sengaja di tempel di dinding rumah. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata bentuk tubuh dan wajah kami serupa.
"Gila. Apakah aku bermimpi? Ini cuma halusinasi!"
"Ini benar, Safran. Aku adalah dirimu. Dirimu adalah aku. Tepatnya aku adalah amal ibadahmu." Aku meremas rambutku seolah gila. "Safran, mustahil ada yang hidup setelah burung merah itu diremas awan kumulonimbus dan meledak, dan jatuh berserak ke dalam laut. Percayalah! Kau tahu maksudku, kan?"
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H