Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Pernah Menangis Ketika Kenangan Meninggalkanmu

1 Mei 2017   19:54 Diperbarui: 1 Mei 2017   21:26 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan ketika uang sudah bertumpuk-tumpuk, aku sayang membelanjakannya untuk membeli sawah warisan itu. Bertahun terlewat. Hingga sekarang aku nekad pulang, demi sejumput kenangan. Demi petak-petak tanah yang mungkin telah dibangun orang pabrik, jalan atau rumah-rumah. Ah, bisakah aku mengembalikan sawah itu kepada ayah seandainya sawah telah menjadi pemukiman?

Akhirnya kami tiba di depan rumahku.

“Wah, rumah bapak lumayan besar!” kata Robert jujur. Seorang perempuan berwajah manis ke luar dari dalam rumah itu. Pasti perempuan itu sebenarnya yang membuat Robert kagum.

Aku turun menjejak kaki di atas rumput-rumput yang tengah berbunga. Sepatuku yang mengilat, basah oleh embun. Perempuan manis itu menoleh. Dia menatapku asing. Robert kurasakan mendengus di leherku. Aku menoleh. Robert meminta maaf. Memundurkan pantat dari jok tempatku duduk, kembali ke belakang kemudi. Dia menggaruk-garuk tangannya yang gempal. Matanya nakal seperti mengatakan; Mari, Dek! Naik mobil abang. Kita jalan-jalan ke kota!Duda penggatal! Batinku.

“Maaf, Dek! Ini rumah Pak Hanafiah?” tanyaku. Perempuan itu mundur selangkah. Dia menyungging senyum. Kepalanya melongok ke balik pintu. Dia meneriakkan bahwa ada tamu. Selanjutnya dia melintasiku. Melangkah menuju utara.

Seorang perempuan tua muncul. Diakah ibu? Lalu perempuan manis barusan, siapa? Apakah dia salah seorang  cucu ibu? Cucu darimana? Kepalaku berpusing. Oh, ibu! Betapa asingnya kau kini. Betapa tua wajahmu dipahat sedih ditinggal anak yang tak tahu diuntung ini. Oh, bukan, bukan! Pasti dia bukan ibuku.

“Mencari siapa, Nak?” Dia mendekatiku. Dia tak ramah, misalnya mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Apakah dia takut aku menghabisi panganan di rumahnya?

Aku ragu-ragu bertanya, “Apakah ini rumah Pak Hanafiah, Bu?”

“Hanafiah? Nama yang asing! Aku tak tahu, Nak. Kami baru sebulan mengontrak di rumah ini. Kalau mau penjelasan lebih lanjut, tanya saja ke pemilik rumah, Bu Salamah namanya.”

Aku mengernyit. Aku salah besar telah menganggap dia sebagai ibuku. “Bu Salamah tinggal di mana?”

“Tuh!” Dia menunjuk dengan bibir mancung. Tak sopan! Terlebih-lebih dia langsung masuk ke rumah itu dan membanting pintu. Kepada Robert aku meminta dia menunggu. Aku berjalan kaki saja ke rumah Bu Salamah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun