Kalau warganya protes, dia tentu saja bisa menjawab seperti ini, “Malam memang milik mereka. Kitalah yang sebenarnya telah mencurinya. Beruntung kita tak diperangi. Mereka malah bodoh mau membayar untuk hak mereka sendiri.”
Walikota malam tertawa terbahak-bahak.
Dulu kota malam sama seperti kota-kota sebelumnya memiliki waktu yang berpasangan; siang dan malam. Tapi pengaruh uang telah membuat orang di kota itu gelap mata. Mereka menjual siang dan malam demi kepuasan dunia. Mereka tinggal dalam alam abu-abu.
Demikian cepat masa terlewati, orang kota malam merasa bosan tak bisa menikmati hidup. Padahal uang mereka banyak. Maka karena tak ingin rugi, beberapa orang---termasuk yang kelak menjadi walikota---mencuri malam dari kota siang. Menurut mereka waktu terbaik menghambur-hamburkan uang adalah malam hari. Semua ada di sana, kesenangan memabukkan dan musik hingar bingar.
Kini setelah gelap dibeli kota siang, lengkaplah kota siang memiliki sepasang waktu; siang malam (ini bukan nama rumah makan Padang). Sementara kota malam hanya ditinggalkan hitam. Mereka tak lagi memiliki malam, tapi memiliki hitam.
Lambat laun kota hitam---begitulah kira-kira kita menyebutnya---hilang entah ke mana. Rata dengan tanah. Dan bila suatu kali kau berjalan-jalan meninggalkan kota siang malam ke goa-goa yang gelap, tak usah heran bila sekali-dua seperti melihat kelebat orang. Mereka bukan jin atau setan. Mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi penduduk kota hitam. Entah benar atau tidak, wallahu alam.
Begitulah akhirnya kakek mengakhiri ceritanya. “Berhubung sudah malam, maka tidurlah. Besok masih ada siang untukmu mendongeng di sekolah!”
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H