Tetangga-tetangga heran. Bagaimana mungkin seorang penulis, tiba-tiba hartanya berjumpalitan? Kalau menuduh korupsi, tak ada pasal melakukannya. Penulis bukan pegawai. Mungkin lebih pas dicurigai memakai ilmu klenik. Pesugihan, misalnya. Tapi adakah Tuan Marsis sosok yang layak menjadi teman pesugihan? Untukku, no! Istriku?
Mataku jelalatan. Cemburu menganak sungai.
“Apa yang kulakukan bersama Tuan Marsis? Tak ada!” lanjut istriku membantah tuduhan yang tak masuk akal itu.
“Bisa jadi, kan! Coba, apa imbalannya hingga dia selalu menuruti seluruh kemauan kita?”
“Bukankah Mas yang pernah mengikat janji dengannya?”
“Janji apa?”
“Tak tahu!”
Setelah itulah Tuan Marsis sering menyambangi rumahku. Awal mula dengan sikap manis. Kemudian berubah bengis, menyuruhku memutuskan hubungan dengan dia.
“Aku mau putus dengan dia, tapi berikan aku kesempatan menulis surat.”
Tuan Marsis terkekeh. Berliur matanya. “Menulis surat? Untuk apa? Tak perlulah surat-suratan. Putuskan saja dengan kata-kata. Selesai!” Wajahnya hampir melahap wajahku saking dekatnya. “Kau tak ingin lebih kaya dari ini? Lebih berkuasa? Memiliki pengikut yang banyak? Osman, banyak orang yang rela jungkir-balik agar mendapat restu, bisa berkawan denganku. Tapi aku tolak mentah-mentah. Ini, aku yang mendatangimu. Tinggal kau mengatakan bersedia putus dengan siapamu itu, amat susah-payah.”
“Ijinkanlah aku!”