Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tuan Marsis

21 April 2017   17:03 Diperbarui: 22 April 2017   10:00 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku selalu tahu, dan selalu mau tahu.” Dia tertawa lirih. “Panggil aku Tuan Marsis!”

“Tuan? Hahaha! Bagaimana mungkin aku menjadi jongosmu?”

Dia tak tersinggung.

“Aku memiliki segalanya yang menjongoskanmu. Suatu saat kau akan percaya dia tak tulus menyintaimu. Bila kau besertaku, hidupmu akan lebih berwarna. Mau harta, aku punya. Kesenangan lain-lain, aku punya. Bahkan apa yang pernah dia berikan kepadamu dapat pula kuberikan. Sudahlah, jangan menjadi pungguk merindukan bulan!”

Perjalanan dalam kereta mulai membosankan, apalagi bersama lelaki sekelas Marsis. Aku tak yakin bisa bersahabat dengannya. Menjijikkan! Tak ada sama sekali yang menarik dari tampilan Marsis. Cuma, ucapannya sangat manis, seolah menelikung hati.

Pertemuan kami yang pertama itu kuanggap selembar kertas usang, yang bisa dibuang ke tong sampah. Sudah beratus kali aku berdekatan dengan seseorang dalam berbagai perjalanan darat, air dan udara. Semua bisa kunetralisir agar tak sampai mencederai cintaku kepadanya. Selalu saja ada pertemuan yang tak sengaja dengan beragam orang. Tentu saja ada perjumpaan, kemudian perpisahan, kemudian semua hilang ditelan waktu yang bergulir kencang.

Kau juga mungkin pernah mengalaminya. Mengenal seseorang di suatu tempat pada suatu masa. Bisa saja kalian menjadi sangat akrab. Atau, bisa saja menjalin cinta kilat, siapa yang tahu! Tapi seperti kataku, pertemuan itu seperti kilat juga, akan pupus. Bukankah ada dia yang telah menjalin cinta denganmu sekian lama? Yang selalu menunggumu kembali, kendati diatahu kau tak jujur tentang wangi parfum yang asing itu. Wangi parfum yang melekat di baju, sebelum kau sempat ke binatu.

Tapi sungguh, kali itu lain. Begitu keras usahaku menghilangkan Tuan Marsis dari ingatan dan harapanku, tubuhnya seolah mengkristal, padat membekuk. Kucoba membujuk hati agar lebih dan lebih menyintainya ketimbang si brengsek Marsis, toh ragu selalu melarung.

***

“Masih ada tulisan Mas dimuat di koran?” tanya istriku.

“Maksudmu yang belum ditranfer honornya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun