Saya selalu berharap, Ibu tersenyum menyambut saya setiap kali pulang sekolah atau bermain. Dia akan berdiri di depan pintu sambil menggendong Adik. Dia menanyakan kepada saya, apakah pelajaran di sekolah baik-baik saja. Atau, adakah yang mengganggu saya saat bermain. Lalu, dia merengkuh bahu dan mengiringi saya ke meja makan. Dia hidangkan sepiring nasi dengan lauk menggoda, atau segelas susu hangat dan sepotong roti bakar berselimut susu kental manis, bertabur meises. Aduhai, alangkah indahnya!
Dia menemani saya menonton televisi ketika senja merapat. Mengajari saya mengaji selepas maghrib. Mendongeng sambil mengipas-ngipasi tubuh saya dengan selembar koran. Menemani saya hingga lelap, sembari mengecup pelan kening saya, “Selamat bobok, Sayang!”
Tapi harapan saya tak pernah terwujud, mendapati Ibu yang baik hati. Perempuan yang senang tersenyum. Perempuan yang setiap kali memeluk saya, ketika saya butuh perlindungan. Berkali saya berdoa kepada Tuhan. Berkali pula saya berpikir Tuhan malas mengabulkan doa saya. Mungkin karena saya jelek, kurus seperti belalang sembah, bermata besar seperti kukang. Teman-teman malah melagukan penampilan saya; berdiri seperti pedang, berbaring seperti papan.
***
Ibu bagaikan kobaran api setiap kali menyambut saya di depan pintu. Dia seolah membakar tubuh saya menjadi abu. Terkadang saya berpikir, apakah dia Ibu saya. Apakah dia sebenarnya jelmaan kuntilanak yang dipaku Ayah kepalanya, lalu Ayah memperistrinya. Atau, apakah saya, si belalang sembah sebatas anak pungut. Anak yang dipungut seperti kain gombal di jalanan.
Hari itu mereka butuh kain gombal. Dan hanya saya yang diberikan Tuhan kepada mereka. Lalu, setelah mereka bisa membeli kain yang empuk, bersih dan harum, itulah Adik, mereka mencampakkan saya. Ah, bukan mereka. Hanya Ibu. Karena Ayah sangat tulus menyayangi saya. Ibu juga tulus menyayangi saya saat Ayah ada di rumah. Hanya saat dia ada. Setelah dia tak ada, bless, nyala api membakar seisi rumah.
Seperti siang ini, Ibu menjadi api yang memegang gagang sapu di depan pintu. Rambutnya menyala-nyala. Matanya menyilaukan api. Mulutnya menyemburkan percikan bara. Sebentar lagi saya akan hangus menjadi abu. Begitupun, sata tetap menyiramkan air, dengan senyum yang mungkin hampir mirip seringain si Mongki, monyet tetangga sebelah. Nyatanya, air saya tidak merubah keadaan. Andaikan saya berlari menjauh, sejauh apa anak berlari. Anak akan tetap pulang ke rumah, kalau dia tak ingin kelaparan di luaran sana.
“Tole, apa lagi yang kau lakukan di sekolah? Apa-apa serba mahal setelah BBM naik. Kau malahan pulang-pulang dengan baju kotor. Lihat, sudah dua hari air PAM mati! Ayahmu juga tak memberi uang belanja. Pembeli sabun colek pun tak ada!” Ibu menceracau, lalu mengakhiri ceracauannya dengan hantaman gagang sapu ke kaki saya. Rasanya perih, menguliti betis. Menusuk ke tulang kering. Saya takut kaki saya patah. Beruntung tak apa-apa, selain kulit betis memar. Hanya gagang sapu itu yang patah, mengawali patahnya hati Ibu. Dia meraih sapu itu, menggendongnya. Sementara hati saya yang patah, dibiarkan berlalu. Saya menangis di sudut ruang makan sambil berjongkok. Beberapa saat lamanya, setelah Kang Mursid, pedagang keliling yang menjual beragam peralatan rumah tangga, menyembuhkan patah hati Ibu dengan sapu baru, barulah saya ditoleh Ibu. Dia menyorongkan makanan di atas piring seng ke arah saya, mengumpamakan saya anjing kudis kelaparan.
Apakah kau pikir saya benci Ibu? Dan suatu saat benci saya mengubun, sehingga kau dapati berita di koran, seorang anak menusuk ibunya dengan pisau, hingga tewas. Ah, kau salah besar! Saya sayang Ibu, meskipun dia api. Meskipun dia berulangkali membuat saya menangis. Saya tetap berusaha riang beberapa menit atau jam kemudian, setelah dia membakar saya.
Saya malahan sering ketakutan membayangkan Ibu hilang, dan dijebloskan ke dalam sel penjara. Berkali-kali saya menonton berita di televisi, bagaimana seorang Ibu harus menjadi penghuni penjara karena menyiksa anaknya.
Ibu bagi saya bukanlah penyiksa, meskipun dia api. Saya tahu betapa banyak tumpukan piring, pakaian, yang harus dia cuci. Bagaimana dia seperti kesetanan melihat kran yang selalu seperti mengencangkan diri, tak mau meneteskan air. Dia kemudian memaki-maki PAM. Belum lagi gunungan pakaian yang belum diseterika. PLN selalu main petak-umpet dengan Ibu. Terkadang menyala, tapi lebih suka mati.
Susu Adik sering tanpa persediaan. Adik suka menangis menjerit-jerit. Kendati Ibu menyorongkan dadanya, Adik ogah dan meronta. Dia lebih suka susu formula. Ibu salah. Itu yang saya tahu dari celoteh Ayah. Saat Adik lahir, Ibu malas-malasan menyusuinya. Adik juga pemilih. Tak sembarang susu dia mau. Bila susu murah, dia ogah meminumnya. Kalaupun dipaksa Ibu, hasilnya Adik sakit perut. Ayah akhirnya mengamuk. Ibu hanya diam. Tapi dari kilat matanya, saya tahu, ketika Ayah tak ada bersama kami, dia akan membakar saya. Sampai menjadi abu.
***
“Tole belum tidur?” Ayah tiba-tiba sudah ada di ruang tamu. Saya langsung mematikan televisi. Pukul sembilan malam bukanlah waktu yang tepat bagi anak seperti saya tetap terjaga. Apalagi sambil menonton televisi yang acaranya semua untuk dewasa. Tapi pukulan Ibu dengan gagang sapu, masih terasa. Perih di kulit betis dan ngilu di tulang. Ibu sempat berbaik-baik kepada saya sebelum dia tidur. Menanyakan kabar betis saya. Saya mengatakan baik-baik saja. Sebelum dia menutup pintu pelan, dia menatap saya tajam, merupakan ancaman agar saya jangan buka mulut, atau dia akan membakar saya menjadi abu.
“Belum, Yah! Tole nunggu Ayah,” jawab saya berbohong. Jangan sampai Ayah tahu kalau betis saya memar. Bisa marah besar dia. Dia paling tak setuju seorang tua menganiaya anak. Anak itu amanah dari Tuhan. Dulu, Ayah dan Ibu mengusahakan bertahun-tahun, berobat ke dokter dan orang pintar, agar punya anak. Tak putus-putus mereka berdoa kepada Tuhan, yang kemudian mengamanahkan anak bernama Tole. Bila kemudian dia mengetahui Ibu menyiksa---oh, bukan---memarahi saya, bisa terjadi perang. Tak perduli perang malam-malam, siang-siang, atau pun fajar. Begitupun, saya tetap ragu apakah saya hanya kain gombal yang mereka temukan di jalanan, atau memang kain empuk, bersih dan harum seperti Adik.
“Kakimu kenapa?” Mata Ayah selalu lebih awas dari perkiraan saya. Meskipun saya mencoba menutup-nutupi sedari tadi, dia tetap bisa melihat memar di betis saya. “Itu perbuatan Ibu, ya?” Suara Ayah melengking. Ayah bekerja sebagai karyawan di bagian mesin pabrik. Dia bekerja dalam ruangan yang panas dan pengap. Maka, bila ada sesuatu yang mencederai hatinya, sangat cepat pula amarahnya memanas.
Apa yang saya bayangkan bakal ada perang, kini terjadilah. Ayah melangkah panjang-panjang menuju kamar. Pintu kamar dibuka keras. Daun pintu menghantam dinding. Ibu berteriak, lalu terdiam. Adik menjerit, memangis, lalu tak mau diam. Ayah menceracau tentang penganiayaan. Tentang hak asazi anak. Tentang hukum penganiayaan. Tentang kantor polisi. Penjara.
Ibu menangis. Bila berhadapan dengan Ayah, dia padam, menjadi air. Tak sempat lagi saya mendengar ceracauan Ayah. Saya memilih berlari menuju kamar. Saya melompat ke atas tempat tidur. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menutup dua telinga dengan bantal. Menutup mata, berharap saya akan terlelap, lalu terbangun besok hari dengan kondisi Ayah setenang telaga. Dengan kondisi Ibu, biar pun tak setenang telaga, tapi setenang sungai tanpa bebatuan.
Dan besok paginya, Ayah seperti biasa, setenang telaga. Dia berbincang banyak dengan saya. Dia berjanji membelikan saya sepeda, bila saya naik kelas tahun ini.
***
“Ibumu suka marah, Yon?” tanya saya saat bermain berdua Yon di tanah lapang.
“Suka juga. Sesekali,” jawabnya. Mata Yon awas memerhatikan layangan di atas sana.
“Suka mukul juga?”
“Nggak pernah! Paling suara ibuku saja yang keras. Dia sering mengajakku jalan-jalan. Kalau ibuku marah besar, paling-paling karena aku memecahkan piring. Atau, menghambur-hamburkan makanan. Mencubit adikku. Kalau kau?”
Saya meringis. Rasa perih di betis dan ngilu di tulang, telah hilang. Tapi perih di telinga bekas jeweran Ibu, tetap terasa. Ibu memberi bonus pagi-pagi, sebuah jeweran, saat Ayah sudah berangkat kerja. “Gara-gara kau, aku diamuk tadi malam!” geramnya.
“Aku pulang dulu.” Saya berlari menuju rumah. Hampir jam empat sore. Saya tak ingin Ibu menjerit-jerit memanggil saya untuk mandi. Saya ingin Ibu sekali ini bisa tersenyum melihat saya pulang dengan baju dan badan bebas kotoran. Tadi pagi setelah dijewer Ibu, saya berdoa kepada Tuhan, agar Ibu tersenyum. Selalu tersenyum. Bahagia rasanya mempunyai Ibu yang suka tersenyum. Ayah pasti senang. Dan tak ada lagi perang di rumah saya.
“Tole, jangan pergi dulu! Kau belum menjawab pertanyaanku.” Saya tidak menoleh, hanya berhenti berlari, dan berjalan tertunduk-tunduk seolah mencari benda renik yang susah ditemukan. “Lihat, layangan itu putus! Ayo, kita kejar!” Yon berlari mengejar layangan putus itu. Saya mengelus dada lega. Jangan sampai dia tahu kalau Ibu itu api. Dia bisa bercerita kepada ibu atau ayahnya. Mereka akan kasak-kusuk. Mereka bercerita kepada tetangga, kepada wartawan, dan urusannya pasti polisi dan penjara. Tuhan, saya takut kehilangan Ibu. Kasihan Adik. Kasihan Ayah harus gantian memaki-maki PAM dan PLN. Ayah mungkin akan kehilangan senyuman. Akan tumbuh tanduk di kepala Ayah. Cukup sudah api di tubuh Ibu dan padam di penjara. Jangan sampai Ayah menanduk Adik. Biarlah saya saja yang ditanduk. Biarlah!
Saya kembali berlari. Saya melihat atap rumah saya dari jauh seperti berasap. Apakah amarah Ibu melebihi ubun dan membakar atap rumah?
Saya semakin mengencangkan lari. Tapi Pak Ijo menghentikan saya. Dia membawa setandan pisang. Dia baru saja panen pisang. Tiga buah diberikan kepada saya. “Katakan kepada ibumu, nanti malam saya antar lima sisir pisang ke rumahmu, Tole! Bayarnya, bisa kapan-kapan saja.” Dia semringah.
“Terima kasih, Pak Oji!” Saya kembali berlari, dan berhenti di depan pintu rumah. Saya melihat atap rumah, utuh. Tak ada asap. Belakangan ini saya memang suka melihat yang bukan-bukan. Menghkhayal saja!
Beruntung sekali Ibu tak menunggu saya dengan gagang sapu. Mungkin dia takut kehilangan sapu baru karena kalah kuat dengan betis saya. Ada baiknya menikmati pisang dulu, sebelum api Ibu tak hanya merubah saya menjadi abu, juga pisang itu.
Saya menikmati pisang itu. Benar-benar menikmati. Saya sampai tak menyadari, mendadak Ibu menjelma api. Membuka pintu dan menghunus sebatang lidi. Langkahnya panjang mendekati saya. Siap-siap mencambuk, tapi akhirnya dia jatuh terpeleset. Belakang kepalanya menghantam lantai.
Saya seperti bermimpi melihatnya demikian. Entahlah, apakah saya perlu tertawa atau menyesali keteledoran saya. Harusnya, saya tak membuang kulit pisang sembarangan. Ibu yang sembarangan mengumbar api, pun lupa kalau kakinya tak bermata. Dia menginjak kulit pisang itu.
Saya memeluk Ibu erat-erat. Saya tak boleh menertawakannya. Saya sangat menyayanginya. Sepanas api Ibu tak sebanding dengan tugasnya mengurusi rumah yang hampir setiap hari selalu seperti habis dilalap api. Berantakan, dan membuat pusing.
* * *
Sekarang Ibu suka tersenyum. Sesekali ditingkahi tawa senang. Harusnya saya bahagia. Karena inilah yang saya harapkan dari dulu. Tapi kali ini berbeda. Saya sangat pilu.
Sekitar dua bulan setelah Ibu menginjak kulit pisang itu, Ayah membawanya ke rumah sakit karena Ibu suka bertingah aneh.. Pulangnya, Ayah bermuram durja. Dia tak bersama Ibu. Katanya, Ibu tinggal di rumah sakit, sebulan, dua bulan, atau entah berapa bulan.
Saya mendadak ingin Ibu tetap menjadi api. Tak perduli setiap hari saya diubahnya menjadi abu. Tapi itu lebih baik ketimbang dia menjadi perempuan seperti nenek Yon yang dipasung di kamar belakang rumahnya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H