Saya memeluk Ibu erat-erat. Saya tak boleh menertawakannya. Saya sangat menyayanginya. Sepanas api Ibu tak sebanding dengan tugasnya mengurusi rumah yang hampir setiap hari selalu seperti habis dilalap api. Berantakan, dan membuat pusing.
* * *
Sekarang Ibu suka tersenyum. Sesekali ditingkahi tawa senang. Â Harusnya saya bahagia. Karena inilah yang saya harapkan dari dulu. Â Tapi kali ini berbeda. Saya sangat pilu.
Sekitar dua bulan setelah Ibu menginjak kulit pisang itu, Ayah membawanya ke rumah sakit karena Ibu suka bertingah aneh.. Pulangnya, Ayah bermuram durja. Dia tak bersama Ibu. Katanya, Ibu tinggal di rumah sakit, sebulan, dua bulan, atau entah berapa bulan.
Saya mendadak ingin Ibu tetap menjadi api. Tak perduli setiap hari saya diubahnya menjadi abu. Â Tapi itu lebih baik ketimbang dia menjadi perempuan seperti nenek Yon yang dipasung di kamar belakang rumahnya.
---sekian---