Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Deru Debu (Cerber Bagian Kelima "Ke Jakarta)

2 Juli 2015   08:45 Diperbarui: 2 Juli 2015   08:45 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Kau tahu, masa kecilku hampir sama seperti anak ini! Bedanya dia terus-terusan dihajar oleh ayahnya sehingga memilih minggat. Sedangkan aku minggat karena ingin bebas-merdeka. Aku ingin bertualang. Padahal ayahku mengharapkanku menjadi polisi. Cita-cita ibuku lebih hebat. Dia ingin aku menjadi dokter. Tapi aku akhirnya menjadi berandalan yang tak lelah mengelilingi kota-kota dan kampung-kampung. Belakangan aku memilih menetap di daerah kalian. Menjadi berandalan dan menjadi sopir seperti sekarang.”

“Itu artinya?” Wajah tegang Kyai Ali mencair.

“Artinya, aku membolehkannya bekerja di truk kita.” Dia tertawa keras. Kyai Ali ikut tertawa. Kecik terbangun. Dia bingung melihat Sujak dan Kyai Ali sama-sama tertawa. Apanya yang lucu? Anak itu mengeleng-geleng saja kemudian meneruskan mimpinya.

Perjalanan dilanjutkan. Beberapa kali Sujak menguap. Matanya berair. Dia melirik ke arah Kyai Ali yang mulai terkantuk-kantuk. Kemudian sepintas melihat Kecik. Saat matanya tak sadar sekejap terpejam, suara dentuman tiba-tiba terdengar. Sigap Sujak melambai-lambaikan tangan ke luar jendela kabin truk sambil menginjak rem. Semoga saja sopir truk di belakang melihatnya dan berhenti.

Seisi kabin truk tersentak. Kepala Lobe membentur sandaran jok. Dia meringis dan langsung duduk. Kyai Ali merangkul Kecik agar tak terhempas ke dashboard.

“Ban pecah!” Sujak memukul kemudi. Yang lain mengangguk. Kecik mengusap dada. Truk yang tadi berhenti di belakang, perlahan menyalip mereka. Seseorang berambut gondrong menyembulkan kepala dari jendela kabin truk itu.

“Peralatannmu ada, Jak?”

“Ada! Tunggu saja aku di rumah makan Mbak Inah,” jawab Sujak sambil membuka pintu kabin sedikit. Lima truk yang serombongan dengannya, pun menyalip satu demi satu. Ada yang menyapa. Ada yang bertanya. Selebihnya hanya mengklakson.

Setelah suasana terlihat sepi, buru-buru Sujak keluar dari kabin. Dia berjalan ke belakang truk bagian kanan. Intsingnya berjalan, bahwa benar bannya pecah di sebelah situ. Menyusul Kyai Ali membawa kotak perkakas. Lobe sebentar berdiri di dekat ban depan truk bagian kiri. Dia kencing.

Kecik yang tak ingin bersantai, ikut turun. Dingin malam menelusup ke dalam pori-pori kulitnya. Gelap menyungkup membuatnya bergidik. Rerimbun daun-daun pohon, bertambah membuatnya bergidik. Dia tak takut hantu atau segala jadian. Dia hanya ngeri membayangkan serombongan orang keluar dari balik pepohonan sembari membawa senjata api atau tajam. Sudah kerap terdengar bahwa di jalan-jalan sepi begini, selalu ada pembajakan mobil. Bisa jadi pecahnya ban truk karena ulah jahil pembajak atau biasa disebut bajing loncat itu. Tujuannya jelas saja supaya mereka berhenti, kemudian bajing loncat itu menggasak seluruh barang berharga di dalam bak truk.

“Kau takut?” tanya Kyai Ali saat Kecik sudah berdiri di dekat ban yang pecah itu.

“Sedikit!” Bibir Kecik bergetar.

Sujak mendengus sambil memukul bak truk. “Ayo, cepat! Ganti bannya dengan ban serep! Jangan melongo terus. Mau dimakan bajing loncat, apa?”

Lobe langsung membuka baut-baut pelak ban yang pecah. Kyai Ali menyuruk ke bawah truk demi membuka ban serep.

“Kau ambil dahan pohon atau semak sebagai pertanda truk kita sedang berdandan! Kau beri aba-aba kalau ada mobil mau lewat!” Sujak bagaikan komandan militer saja. Matanya seperti hendak melompat. Kecik yang setengah melamun, langsung terlonjak. Dia sadar ucapan itu ditujukan kepadanya. Bergegas dia memasuki sela-sela pohon dengan hati cemas. Dia mulai menyesal mengapa ikut menumpang truk ke Jakarta. Andai saja dia di rumah, pasti dia tengah bergelung selimut dan bermimpi indah. Mengenai amarah Boy yang menggebu, toh sudah kerap dihadapinya. Adakalanya ayahnya itu pemarah, tapi di lain waktu dia bisa saja berbaik hati, terutama bila pijatan Kecik bisa membuatnya bersendawa berkali-kali.

Kecik membayangkan sesosok tubuh muncul tiba-tiba dari sela pohon. Sepasang matanya seolah mencengkeram tubuh Kecik yang ringkih. Sekejap itu pula tangan yang kejal dan liat, mencekik leher anak malang itu. Menyusul pula sosok-sosok lain dari sela-sela pohon. Mereka menyandera anak itu, lalu menodong seluruh awak truk. Seluruh barang di truk pun berpindah ke tangan mereka.

“Hoi, alanglah lamanya kau mengambil dahan pohon itu!” Suara Sujak menggelegar. Lamunan Kecik buyar. Buru-buru dia mengambil dahan yang cukup besar, dan jelas cukup berat ditarik oleh tangannya yang kurus. Begitulah, ketika dia hampir berhasil menyeret dahan itu dari sela-sela pohon, sebuah tangan berbulu berhasil menghentikan gerakannya.

Kecik mendongak. Seorang tinggi besar berjambang telah berdiri seperti raksasa di depannya. Orang tinggi besar itu mencoba tersenyum. Namun bagi Kecik, itu hanyalah seringaian seekor macan lapar. Dia hampir berhasil lari lintang-pukang, kalau saja orang itu tak berhasil mencengkeram tangannya.

“Mobil kalian rusak, ya?” Orang itu merengkuh bahu Kecik. Berdua mereka berjalan menuju jalan raya. Sujak yang melihat kedatangan mereka, buru-buru memegang erat kunci roda. Kecik melihat samar urat-urat tangan sopir itu bertonjolan. Semoga saja tak terjadi apa-apa.

“Pecah ban, ya?” tanya orang itu.

“Hu-uh!” Sujak siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Begitu pula Lobe, juga Kyai Ali yang tiba-tiba keluar dari bawah truk sambil menyeret ban serap. Betapa pun orang di dekat mereka berusaha beramah-tamah, tapi tujuannya kurang jelas. Bisa jadi dia sedang menunggu kawan-kawannya, yang muncul dari rerimbun hutan dan langsung melucuti segala barang berharga mereka.

Sekian menit berlalu, tak ada gejala akan terjadi sesuatu yang membahayakan. Orang itu malahan ikut membantu memasangkan ban serap. Dia juga menawarkan rokok dan sebotol minuman berbau tajam. Kecik tak tahu minuman apa itu. Tapi di antara awak truk, hanya Sujak dan Lobe yang tak menampik tawaran rokok dan minuman berbau keras itu. Sementara Kyai Ali menolak halus.

Orang itu memperkenalkan dirinya. Namanya Herman. Dia seorang pemburu babi yang datang dari kota Lampung dan kebetulan kemalaman. “Kami sekadar berolahraga berburu.” Dia memain-mainkan sebatang rokok di sela jemari tangannya.

Lama betul perbincangan yang mulai ramah itu terjadi. Ketika ban serap telah terpasang mantap di posisinya, dan kunci-kunci sudah lengkap, mereka permisi melanjutkan perjalanan kepada Herman.

“Apakah abang pikir Herman seorang baik-baik?” Lobe melemparkan tanya setelah truk melaju sekian puluh meter.

“Jangan pernah berpikir di tempat seperti ini bahwa lawan bicaramu orang baik-baik. Sekali kau lengah, matilah kau dibantai. Jadi tetap waspada saja. Aku curiga dia mempunyai rencana busuk. Ngakunya saja pemburu dari kota Lampung. Tapi tak lebih dari bajing loncat. Aku cemas kalau-kalau kawan si Herman itu sudah menunggu kita di depan sana.”

 

(Bersambung)

Bagian sebelumnya

http://www.kompasiana.com/rifannazhif/deru-debu-cerber-bagian-keempat-ke-jakarta_55935f8f2e7a61f10735c67d

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun