“Sedikit!” Bibir Kecik bergetar.
Sujak mendengus sambil memukul bak truk. “Ayo, cepat! Ganti bannya dengan ban serep! Jangan melongo terus. Mau dimakan bajing loncat, apa?”
Lobe langsung membuka baut-baut pelak ban yang pecah. Kyai Ali menyuruk ke bawah truk demi membuka ban serep.
“Kau ambil dahan pohon atau semak sebagai pertanda truk kita sedang berdandan! Kau beri aba-aba kalau ada mobil mau lewat!” Sujak bagaikan komandan militer saja. Matanya seperti hendak melompat. Kecik yang setengah melamun, langsung terlonjak. Dia sadar ucapan itu ditujukan kepadanya. Bergegas dia memasuki sela-sela pohon dengan hati cemas. Dia mulai menyesal mengapa ikut menumpang truk ke Jakarta. Andai saja dia di rumah, pasti dia tengah bergelung selimut dan bermimpi indah. Mengenai amarah Boy yang menggebu, toh sudah kerap dihadapinya. Adakalanya ayahnya itu pemarah, tapi di lain waktu dia bisa saja berbaik hati, terutama bila pijatan Kecik bisa membuatnya bersendawa berkali-kali.
Kecik membayangkan sesosok tubuh muncul tiba-tiba dari sela pohon. Sepasang matanya seolah mencengkeram tubuh Kecik yang ringkih. Sekejap itu pula tangan yang kejal dan liat, mencekik leher anak malang itu. Menyusul pula sosok-sosok lain dari sela-sela pohon. Mereka menyandera anak itu, lalu menodong seluruh awak truk. Seluruh barang di truk pun berpindah ke tangan mereka.
“Hoi, alanglah lamanya kau mengambil dahan pohon itu!” Suara Sujak menggelegar. Lamunan Kecik buyar. Buru-buru dia mengambil dahan yang cukup besar, dan jelas cukup berat ditarik oleh tangannya yang kurus. Begitulah, ketika dia hampir berhasil menyeret dahan itu dari sela-sela pohon, sebuah tangan berbulu berhasil menghentikan gerakannya.
Kecik mendongak. Seorang tinggi besar berjambang telah berdiri seperti raksasa di depannya. Orang tinggi besar itu mencoba tersenyum. Namun bagi Kecik, itu hanyalah seringaian seekor macan lapar. Dia hampir berhasil lari lintang-pukang, kalau saja orang itu tak berhasil mencengkeram tangannya.
“Mobil kalian rusak, ya?” Orang itu merengkuh bahu Kecik. Berdua mereka berjalan menuju jalan raya. Sujak yang melihat kedatangan mereka, buru-buru memegang erat kunci roda. Kecik melihat samar urat-urat tangan sopir itu bertonjolan. Semoga saja tak terjadi apa-apa.
“Pecah ban, ya?” tanya orang itu.
“Hu-uh!” Sujak siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Begitu pula Lobe, juga Kyai Ali yang tiba-tiba keluar dari bawah truk sambil menyeret ban serap. Betapa pun orang di dekat mereka berusaha beramah-tamah, tapi tujuannya kurang jelas. Bisa jadi dia sedang menunggu kawan-kawannya, yang muncul dari rerimbun hutan dan langsung melucuti segala barang berharga mereka.
Sekian menit berlalu, tak ada gejala akan terjadi sesuatu yang membahayakan. Orang itu malahan ikut membantu memasangkan ban serap. Dia juga menawarkan rokok dan sebotol minuman berbau tajam. Kecik tak tahu minuman apa itu. Tapi di antara awak truk, hanya Sujak dan Lobe yang tak menampik tawaran rokok dan minuman berbau keras itu. Sementara Kyai Ali menolak halus.