Dari gaya berpakaian sehari-hari Marquis, ia terbilang cukup modis dan catchy. Tentu tidak terlepas dari pekerjaannya yang merupakan seorang ahli busana yang ia dapati pekerjaan tersebut setelah tinggal di Jerman.
Hal serupa juga dapat dilihat dalam cerpen berjudul "Bayi Cokelat" di mana tokoh Umar, seorang buruh imigran dari Suriah yang taat beribadah menjadi menyepakati kehidupan bebas di Jerman dengan cara mendonorkan spermanya dengan cara bersetubuh untuk sepasang kekasih lesbi yang ingin memiliki anak.
Kemudian, dalam cerpen berjudul "Lelaki yang Melempar Koin", terdapat tokoh Karam yang bekerja sebagai tenaga medis, seorang bruder. Ia menganggap bahwa ia harus menjadi bagian dari masyarakat Jerman dengan berbicara bahasa Jerman dan melakukan rutinitas sehari-hari sebagaimana biasanya.
 Tentu ada tekanan karena ia merupakan salah satu dari pengungsi akibat peperangan yang terjadi di tanah kelahirannya, Suriah. Dengan ia mengikuti gaya hidupnya saat ini, ia merasa menjadi lebih baik dari sebelumnya karena terlepas dari peperangan.
Dari ketiga tokoh di atas, tokoh seperti Marquis--Sumartono Hidayat--mencoba meniru apa yang biasa masyarakat Jerman lakukan agar ia merasa setara dengan mereka.Â
Motif ini menggambarkan adanya rasa inferior atas sekadar pergantian nama saja. Belum lagi, kehidupannya yang menjadi seorang gay dan berkasih dengan seorang profesor tua Bernama Volker. Begitu juga tokoh Umar.
Berbeda dengan tokoh Karam di mana ia terpaksa menjalankan rutinitas sehari-hari sebagai seorang pendatang yang tinggal di Jerman. Keadaan Karam di Jerman disebabkan karena kebutuhan mendesak hidupnya yang kabur dari medan peperangan. Meski demikian, ia harus berlagak seperti orang Jerman pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H