Mohon tunggu...
Muhammad Rifan Prianto
Muhammad Rifan Prianto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta. Penulis yang baru merintis karirnya di atas pena. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aliansi Monyet Putih, Kehidupan Masyarakat Imigran di Jerman

16 Oktober 2024   11:19 Diperbarui: 16 Oktober 2024   11:42 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah membaca kumcer Aliansi Monyet Putih karya Ramayda Akmal, ada satu pertanyaan besar yang muncul di benak saya. Mengapa Jerman kini menjadi negara yang penuh dengan orang imigran? 

Saat perang dunia masih berkecamuk hebat, kita mengenal bangsa Jerman sebagai bangsa penindas ras atau negara lainnya. Tidak tanggung-tanggung, genosida pun sampai terjadi. Namun, setelah perang usai, Jerman kemudian dengan senang hati menerima para pendatang. Ya, para imigran itu diterima hangat layaknya keluarga jauh yang sudah lama tidak berjumpa.

Tentu hal ini berhubungan dengan bagaimana pemerintah Jerman berupaya agar citra bangsa agresor terhapus, dan menjadikannya wajah baru sebagai bangsa yang bersahabat. Terlepas dari alasan politis tersebut, sebetulnya negara Jerman mengalami krisis demografi yang dapat mengganggu keseimbangan jumlah pekerja, kontribusi ekonomi, dan sistem perawatan sosial. Kita dapat mengenalnya sebagai grey population, di mana kebijakan ini bertujuan untuk meremajakan usia populasi suatu negara.

Lalu, pertanyaan sebelumnya akan lebih berkembang lagi. Apakah latar sejarah masyarakat Jerman sebagai negara penjajah berpengaruh terhadap interaksi sosial dengan masyarakat imigran yang notabene berasal dari negeri yang dijajah? Mari kita ulas!

Masyarakat kelas dua

Selain cerpen berjudul "Peniup Harmonika", tokoh dari cerita lainnya memiliki latar belakang yang sama sebagai seorang imigran dan membicarakan tentang kehidupan mereka di Jerman. Beberapa dari mereka hidup sebagai masyarakat kelas dua yang terkadang didiskriminasi oleh masyarakat berdarah murni sana.

Pada cerpen pertama berjudul "Bulan Lemon", mengisahkan tentang dua tokoh mahasiswa yang berasal dari negara berbeda di mana dua tokoh ini bertemu saat pesta kecil-kecilan di satu apartemen teman mahasiswa lainnya. 

Meski terkendala bahasa, mereka tetap menjadi sahabat karena memiliki hobi yang sama, yaitu berjudi. Sampai pada sahabat tokoh aku itu harus segera pulang ke negeri asalnya karena tahun belajarnya telah hampir habis, dan belum juga lulus. 

Padahal, secara nilai sahabat dari tokoh aku tersebut dapat dibilang baik. Namun, ia tidak bisa bersaing secara sehat. Ia merasa bahwa bagaimana pun ia berjuang atau bicara bahasa selancar masyarakat lokal, ia akan tetap menjadi orang asing dengan selalu dimaklumi atau kadang selalu menjadi orang yang salah.

Kemudian di cerpen berjudul "Jalan Menuju Rumah", yang secara garis besar menceritakan bagaimana sulitnya masyarakat pendatang dalam mencari tempat tinggal. Jafari, yang merupakan tokoh imigran dari Suriah kesulitan mencari tempat tinggal karena identitasnya sebagai pendatang. 

Atau bahkan warga lokal seperti tokoh bernama Jurgen akan kesulitan mencari rumah saat ia membawa kekasihnya yang merupakan keturunan Filipina-Spanyol bertemu dengan agen perumahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun