Mohon tunggu...
Muhammad Rifan Prianto
Muhammad Rifan Prianto Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Muhammad Rifan Prianto, lahir di Jakarta. Penulis yang baru merintis karirnya di atas pena. Aktif bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melihat Wajah Lain Korea Selatan Melalui Kumpulan Puisi Terjemahan "Ikan adalah Pertapa"

21 Juni 2023   18:29 Diperbarui: 21 Juni 2023   18:32 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Ikan Adalah Pertapa. Hal: 50)

Meski tak dirinci lebih lanjut, namun dari tagihan-tagihan yang bertumpuk setidaknya menggambarkan bagaimana biaya hidup yang cukup banyak. Hal ini juga disinggung di puisi "Apartemen Burung Merpati Putih"

Di Yangpyong biaya pemanas mengerikan
sehingga aku membaca Chungtzu di dalam selimut
dan memulai perjalanan sepuluh tahun lalu

(Ikan Adalah Pertapa. Hal: 46)

Dari penggalan larik biaya pemanas mengerikan menandakan betapa mahalnya kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga aku lirik lebih membaca satu karangan di dalam selimut agar terasa hangat. Mengalihkan suasana. Mencari kehangatan dalam kehidupan masa lalu.

Kemiskinan

Sebenarnya kemiskinan tak akan lekang dari suatu negara. Begitu pun di Korea Selatan. Tentu kita telah familiar lagu hit yang sempat meledak di tahun 2011an berjudul Oppa Gangnam Style. Sebuah lagu yang menunjukkan hingar-bingar kehidupan kota Gangnam. Seperti merepresentasikan kehidupan kota di Korea Selatan. Namun, bila kita telisik kembali sejarah dari kota tersebut, sebenarnya ada kelompok yang menjadi korban atas dibangunnya kota Gangnam. Yaitu mereka yang kini menetap di daerah Geongnam yang berdekatan dari kota Gangnam. Daerah Geongnam sendiri merupakan salah satu daerah kumuh tak terurus yang ada di sana. Bahkan, penduduknya sendiri pun banyak yang tidak memiliki kartu identitas akibat sangat tidak diberi perhatian oleh pemerintah sana.

Dalam Ikan Adalah Pertapa, terdapat satu puisi berjudul "Sebuah Puisi Yang Tak Dapat Ditulis" yang menggambarkan orang-orang kelas bawah yang menetap di pintu keluar-masuk stasiun.

Apabila pergi ke kota Seoul, siapkan dua lembar uang kertas
    seribu won
Satu lembar diperlukan di tangga bawah tanah Stasiun
     Cheongyangri dan satu
lembar lagi diperlukan di pintu keluar No 2 Stasiun
    Jonggak

(Ikan Adalah Pertapa. Hal: 60)

Di bait selanjutnya pun dijelaskan bahwa mereka adalah para gelandangan. Gelandangan yang mendiami stasiun menuju kota Seoul. Gelandangan yang menandakan strata kemiskinan seseorang di sebuah kota yang bisa dibilang sebagai megapolitan. Tapi, kembali lagi. Sejatinya kemiskinan memang tak kan pernah lekang dari suatu negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun