Mohon tunggu...
Rifa Nasya Shafwa
Rifa Nasya Shafwa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Aksi Penipuan dalam Berbelanja Online

20 Januari 2021   02:44 Diperbarui: 20 Januari 2021   02:49 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kepolisian Repuplik Indonesia (Polri), September 2020

PENDAHULUAN

Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, berbelanja online merupakan suatu hal yang digemari oleh banyak kalangan terutama bagi mereka yang paham dan andal dalam menggunakan teknologi. 

Pada awalnya, aktivitas belanja online atau dapat diartikan juga dengan melakukan transaksi jual beli secara online merupakan hal yang masih asing di telinga sebagian orang karena kurangnya pengetahuan mereka tentang bagaimana cara melakukan transaksi jual beli online dengan baik dan adanya sebuah anggapan bahwa pada praktiknya melakukan aktivitas belanja online merupakan hal yang sulit untuk dipelajari. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi dan pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat, mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara seefektif mungkin. 

Perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat belanja online dijadikan sebagai salah satu opsi utama untuk menciptakan adanya keefektifan tersebut. Banyaknya kemudahan dan manfaat yang diberikan merupakan kelebihan dalam melakukan transaksi jual beli secara online. Namun disamping hal tersebut pula, terdapat beberapa kekurangan dalam berbelanja online. Salah satunya adalah adanya peluang tindak kejahatan aksi penipuan.

Adanya tindak kejahatan aksi penipuan tidak akan terjadi apabila calon pembeli dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya hal tersebut. Aksi penipuan terjadi karena kurangnya kehati-hatian calon pembeli dan adanya sikap pelaku penipuan yang hanya mementingkan dirinya sendiri demi memenuhi segala kebutuhannya. Kurangnya kehati-hatian calon pembeli merupakan faktor pendorong pelaku penipuan dapat menjalankan aksinya dengan lancar tanpa adanya hambatan. 

Jika mereka telah merasa andal dalam melakukan penipuan berdasar pada aksi yang telah dilakukan sebelumnya, mereka akan mengembangkan bentuk penipuan tersebut. Penipuan yang terus mengalami pengembangan itulah yang kemudian menjadi sebuah fenomena yang membuat aksi penipuan dalam berbelanja online mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Mengambil salah satu contoh kasus di Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang melibatkan pria berinisial JS sebagai tersangka pelaku penipuan pelelangan sepatu secara online di akun media sosialnya. Kasus tersebut menghasilkan korban kurang lebih 400 orang. Aksi penipuan tersebut dimulai ketika tersangka mengunggah sepatu dengan merek tertentu melalui Intagram pribadinya dan kemudian dilakukan lelang secara online. 

Untuk menarik minat sang korban, pelaku menawarkan sepatu dengan merek yang langka dalam setiap proses pelelangannya. Hal tersebut ia lakukan secara berulang dan tercatat telah beraksi sejak 2019. Pelaku mendapatkan sekitar 15 hingga 20 juta rupiah setiap kali melancarkan aksinya. Modusnya, setelah sepatu berhasil dilelang, ia menyuruh korbannya untuk mengirimkan sejumlah uang. Tetapi setelah uang tersebut berhasil diterimanya, sepatu yang telah mengalami pelelangan itu tidak dikirimkan kepada sang pembeli. Uang hasil melancarkan setiap aksinya ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (Wamad, 2021).

Hal tersebut menunjukkan bahwa tawaran yang menarik perhatian seperti merek sebuah produk yang langka, diiringi dengan kurangnya kehati-hatian calon pembeli, dan adanya sikap egois dari pelaku penipuan demi memenuhi segala kebutuhannya merupakan beberapa faktor dari banyaknya faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan aksi penipuan dalam berbelanja online. 

Aksi yang tercatat telah pelaku lakukan sejak 2019 juga menunjukkan bahwa ketika ia telah merasa berhasil menjalankan aksi-aksi sebelumnya, membuat ia ingin mengulanginya dengan bentuk penipuan yang telah dikembangkan menjadi lebih beragam sesuai dengan perkembangan teknologi.

Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kejahatan aksi penipuan seperti yang tertuang di atas sejalan dengan (Ananda S, 2009 : 364) yang mengemukakan pengertian dari penipuan itu sendiri, yaitu adalah suatu perbuatan atau membuat, perkataan seseorang yang tidak jujur atau bohong dengan maksud untuk menyesatkan atau mengakali orang lain untuk kepentingan dirinya atau kelompok. 

Juga sejalan dengan pendapat R. Sugandhi (1980 : 396-397) yang mengemukakan bahwa penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu, dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Berdasarkan pengertian penipuan sesuai dengan pendapat di atas, jelas sekali bahwa penipuan merupakan hal yang dilakukan secara sadar dan sengaja baik melalui perkataan, perbuatan, maupun keadaan yang tidak dilandaskan dengan kebenaran. Pelaku penipuan mengharapkan terpenuhinya segala kebutuhannya dengan cara mengelabui sang korban.

Syahrul Nawir Nur (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa peranan korban dalam tindak pidana penipuan memiliki peranan yang cukup besar, karena terlalu memberikan kepercayaan yang besar kepada si pelaku dan kurangnya kehati-hatian yang mengakibatkan si korban dengan mudah dijadikan korban oleh pelaku. Berdasarkan hal tersebut pula, dapat penulis tarik sebuah kesimpulan bahwa jika seorang calon pembeli memiliki sikap kehati-hatian yang sangat tinggi dan teliti dalam melakukan jual beli secara online, niat dan cara apapun yang akan dilakukan oleh sang pelaku tidak akan berjalan mulus.

Penelitian mengenai maraknya aksi penipuan dalam berbelanja online ini mempunyai peranan yang penting mengingat banyaknya aksi penipuan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam berbelanja online. Nantinya, penulis mengharapkan penelitian ini akan berguna dalam menghasilkan informasi baru yang dapat memperluas wawasan, membuktikan hasil analisis yang ada dengan kebenaran data yang diperoleh sehingga tidak menimbulkan keraguan akan informasi terkait, dan melakukan pengembangan informasi sehingga akan menimbulkan kejelasan akan suatu masalah yang sedang diteliti. 

Berdasarkan semua yang telah diuraikan di atas, penulis menarik beberapa permasalahan yaitu faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya aksi kejahatan penipuan dalam berbelanja online, bagaimana upaya penanggulangan tindak kejahatan tersebut, dan peraturan apa saja yang menjadi dasar hukumnya.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, melakukan pendalaman akan suatu fenomena dengan cara menganalisanya. Analisa tersebut harus berpedoman pada data yang diperoleh berdasarkan fakta, menggunakan teori dan penelitian terdahulu sebagai landasan untuk menguatkan analisa, dan memberikan suatu kesimpulan terhadap hasil analisa tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif, memberikan suatu deskripsi atau gambaran secara sistematis mengenai suatu fenomena dan hubungan fenomena yang sedang diteliti antara satu dengan yang lainnya.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui bahan bacaan yang tersedia yang berkaitan dengan tema penelitian penulis.

Teknik pengumpulan data penulis lakukan dengan library research atau studi pustaka yaitu dengan mencari dan membaca informasi dari berbagai bahan bacaan seperti artikel,  jurnal, dan buku yang memiliki kaitan dengan tema penelitian yang dibahas.

Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan memberikan deskripsi secara terarah dan aktual. Metode tersebut juga akan digunakan untuk membuat suatu kesimpulan dan saran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Terjadinya Penipuan Online

Terdapat faktor yang membuat seseorang pada akhirnya memutuskan untuk melakukan tindak kejahatan, baik itu karena adanya peluang, niat yang berasal dari dalam diri sendiri, maupun keadaan. Namun disamping hal tersebut, tindakan kejahatan tidak dapat terealisasikan dengan baik jika tidak ada kelengahan dari calon korban. Calon korban atau yang dapat dikatakan sebagai calon pembeli dalam hal ini mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya hal tersebut. Berikut merupakan beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kejahatan aksi penipuan berbasis online :

  • Tidak Dapat Memenuhi Kebutuhan Hidup

Setiap orang diharuskan memenuhi kebutuhannya untuk dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, mereka harus mempunyai kondisi ekonomi yang baik. Dengan kondisi ekonomi yang baik, mereka dapat hidup dengan berkecukupan dan dapat memenuhi kebutuhannya. 

Lain halnya dengan mereka yang telah berkeluarga. Mereka harus bekerja dua kali lipat lebih keras untuk memiliki kondisi ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Semakin banyak anggota di dalam sebuah keluarga, semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun permasalahannya di sini adalah bagaimana mereka yang tidak mempunyai kondisi ekonomi yang baik dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bahkan keluarganya. Tindak kejahatan dengan aksi penipuan menjadi jalan yang terkadang dijadikan solusi oleh beberapa orang agar dapat memenuhi segala kebutuhannya.

  • Tidak Mempunyai Pekerjaan

Dapat hal ini penyebab seseorang tidak mempunyai pekerjaan bisa disebabkan oleh pendidikan yang rendah, usaha yang belum membuahkan hasil, kurangnya kesempatan, adanya rasa malas, dan bisa juga karena di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Hal demikian membuat seseorang merasa tidak dapat hidup dengan layak jika tidak mempunyai pekerjaan untuk dapat menghasilkan uang. Oleh karena kondisi yang demikian, berbagai cara akan dilakukan untuk dapat menghasilkan uang. Salah satunya adalah dengan melakukan aksi penipuan.

  • Rasa Ingin Sejajar dengan Lingkungan yang Berhasil

Dikelilingi oleh orang-orang yang berhasil terkadang menimbulkan rasa cemburu pada diri seseorang dan membuatnya menjadi tidak percaya diri. Merasa bahwa tidak memiliki kebahagiaan dan kesuksesan yang serupa, membuat seseorang ingin mengikuti dan menjadi sama dengan orang-orang yang berada di lingkungannya. Namun karena tidak memiliki kemampuan yang sama, seseorang pada akhirnya memutuskan untuk menggunakan segala cara di luar kemampuannya.

  • Ingin Proses yang Instan dalam Menghasilkan Uang

Melakukan aksi penipuan akan menghasilkan uang dalam jumlah besar dengan waktu yang cepat. Ditambah lagi jika pelaku berhasil mendapatkan korban dengan jumlah yang banyak, akan semakin banyak pula keuntungan yang didapatkan. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab yang membuat seseorang memutuskan untuk melakukan aksi penipuan.

  • Sifat Pribadi

Sifat pribadi atau kepribadian adalah sifat yang berasal dari dalam diri sendiri. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki sifat selalu berperilaku kriminal membuat ia tidak mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya baik atau buruk. Faktor ini merupakan faktor penyebab yang sulit untuk ditemukan solusinya. Dikatakan demikian karena sifat yang asalnya dari dalam diri hanya dapat dikontrol dan dicegah oleh diri sendiri.

  • Memanfaatkan Kelemahan Jual Beli Secara Online

Kelemahan-kelemahan dalam melakukan transaksi jual beli secara online seperti tidak melakukan tatap muka secara langsung membuat seorang calon pembeli akan mudah dikelabui sebagai korban. Seorang calon pembeli tidak dapat melihat kondisi barang yang sebenarnya, kekurangan informasi, dan mendapatkan kualitas barang yang buruk.

  • Kurangnya Kehati - hatian Calon Pembeli

Kurangnya kehati-hatian dan ketelitian calon pembeli membuat pelaku penipuan dapat melancarkan aksinya dengan baik. Calon pembeli akan mudah dikelabui dengan informasi dan omongan yang tidak jelas perihal kebenarannya. Salah satu cara untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan melakukan pengecekan terhadap kualitas penjual dan barang yang diperjualbelikan, juga dengan melihat kepuasan dan penilaian para pembeli sebelumnya.

  • Kepercayaan yang Diberikan kepada Penjual

Pembeli yang memberikan kepercayaan secara berlebihan kepada penjual akan menguntungkan sang penjual yang akan melakukan aksi penipuan. Ia merasa telah diberi kepercayaan sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh pelaku penipuan ketika akan melancarkan aksinya. Untuk itu, sekalipun pembeli sangat mengenal dengan baik sang penjual, pembeli tetap harus berhati-hati dan tidak memberikan kepercayaan secara berlebihan.

Berikut adalah contoh kasus yang terjadi dalam melakukan jual beli secara online berdasarkan beberapa faktor penyebab yang telah diuraikan di atas :

1. Kasus penipuan jual beli emas online yang terjadi di Provinsi Riau, Kota Pekanbaru

Kasus ini bermula dari sejumlah korban yang melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau terkait penipuan jual beli emas dan mereka mengaku telah mengirimkan uang ratusan juta rupiah tetapi emas yang diperjualbelikan tidak kunjung diterima. Menurut keterangan, pelaku menjual barang-barang bermerek dari luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Hal tersebutlah yang membuat banyak orang menjadi tertarik. Namun dengan alasan adanya pandemi, pelaku mengaku sulit untuk memasukkan barang-barang bermerek tersebut ke Indonesia. Pelaku pada akhirnya menjual emas dengan jenis tertentu melalui Facebook.

Tiga kali melakukan transaksi, korban menerima semua emas yang dipesan. Kemudian pelaku kembali menawarkan emas dengan harga yang jauh lebih murah. Korban kembali tertarik dan membeli hingga 7 kali pemesanan. Namun hingga kini, korban mengaku belum menerima semua pesanan yang mencapai kerugian 399 juta tersebut. (Syukur, 2020).

Berdasarkan kasus tersebut, pembeli jelas terlalu menaruh kepercayaan yang berlebih kepada sang penjual karena ia merasa ketiga transaksi sebelumnya berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan. Ia tidak menyadari bahwa itu merupakan modus pelaku untuk pada akhirnya dapat mengelabui pembeli dengan memberikan harga yang jauh lebih murah agar pembeli kembali melakukan transaksi dengan jumlah yang lebih banyak.

2. Kasus penipuan jual beli online yang dilakukan oleh 4 anak SMP

Kasus penipuan yang berkedok jual beli barang langka atau yang biasa kita sebut dengan limited edition ini dilakukan oleh empat anak di bawah umur melalui media sosial Instagram. Kasus tersebut terungkap dari laporan salah satu korban pada 8 September 2020. Dari adanya laporan tersebut, pihak penyidik langsung menelusuri akun Instagram yang digunakan oleh para pelaku untuk menawarkan barang dagangannya, diantaranya adalah sandal dan sepatu.

Barang tidak kunjung datang setelah korban melakukan transaksi dengan mengirimkan sejumlah uang ke rekening tertentu. Para pelaku telah meraup keuntungan dari hasil penipuan tersebut sebesar lebih dari 100 juta. Hasil kejahatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan bersenang-senang. Para pelaku berinisial AF, GR, MR, dan DFY berhasil ditangkap di kawasan Medan dan Aceh. Mereka bertiga merupakan para pelajar SMP dari sekolah yang berbeda (Putra, 2020).

Berdasarkan kasus tersebut, korban jelas tidak memastikan kualitas dan informasi mengenai sang penjual. Korban bahkan tidak mengetahui bahwa penjual barang dagangan tersebut adalah anak di bawah umur. Kasus ini selain disebabkan karena kurangnya kehati-hatian korban, juga disebabkan karena pelakunya itu sendiri. Faktor yang mendorong para pelaku di bawah umur tersebut untuk berbuat kriminal adalah karena ingin memenuhi kebutuhannya dan bersenang-senang.

Upaya Penanggulangan Tindak Kejahatan Penipuan Online

Dalam menanggulangi terjadinya tindak kejahatan aksi penipuan berbasis online, aparat kepolisian dan pemerintah secara bersama-sama saling bahu-membahu untuk melakukan berbagai upaya penanggulangannya. Bentuk upaya penanggulangan tersebutlah yang diharapkan nantinya akan menimbulkan efek jera kepada pera pelaku aksi kejahatan. Bentuk upaya tersebut dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu :

  • Upaya Preventif

Dalam melakukan upaya preventif ini, pihak kepolisian dapat memberikan himbauan kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan transaksi secara online dengan penguasaan teknologi dan bersikap mawas diri dalam melakukan segala bentuk aktivitas online. Bentuk himbauan tersebut dapat dilakukan melalui media elektronik maupun media sosial dengan menyebarkan broadcast terkait penipuan online untuk disebarkan kepada masyarakat luas. Pihak kepolisian juga dapat menjalankan fungsi teknisnya dalam menangani kasus penipuan online, yaitu dengan melakukan penegakan aturan dan patroli secara rutin di dunia maya seperti media sosial. Selain upaya di atas, upaya preventif juga dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi oleh pemerintah. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui media elektronik seperti televisi dan radio.

  • Upaya Represif

Upaya represif yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian adalah dengan memproses setiap kasus penipuan online dan ditangani sesuai dengan aturan yang berlaku. Pihak kepolisian bekerja sama dengan stakeholder yang ada, yaitu bagaimana menangkap pelaku yang tertangkap tangan melakukan kejahatan ataupun melalui laporan masyarakat kemudian mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) guna melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka kasus. Setelah itu, dilakukanlah sebuah penangkapan yang kemudian diproses di kepolisian. Namun sebelum berkas perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan, terlebih dahulu diadakan konferensi pers yang disiarkan dan disebarkan kepada masyarakat luas dengan tujuan agar masyarakat mengetahui kasus yang sedang ditangani oleh aparat kepolisian.

Berikut ini akan dipaparkan jumlah laporan penipuan online per tahun yang telah ditangani oleh aparat kepolisian dari tahun 2016 hingga 2020 :

Sumber : Kepolisian Repuplik Indonesia (Polri), September 2020
Sumber : Kepolisian Repuplik Indonesia (Polri), September 2020

Sejak 2016 hingga 2020 tepatnya pada bulan September, total 7.047 kasus penipuan online dilaporkan. Apabila dirata-rata, maka terdapat 1.409 kasus penipuan online tiap tahunnya.

Berikut juga dipaparkan laporan kasus kejahatan siber di Indonesia yang paling banyak dilaporkan kepada aparat kepolisian dari bulan Januari hingga September 2020 :

Sumber : Kepolisian Republik Indonesia (Polri), September, 2020
Sumber : Kepolisian Republik Indonesia (Polri), September, 2020

Data yang diambil dari bulan Januari hingga September 2020, menempatkan penipuan online pada urutan kedua teratas. Sekitar 6,49% kejahatan siber berasal dari kategori tersebut.

Kedua data yang terlampir di atas menunjukkan bahwa kasus penipuan online mengalami ketidakmenentuan pada tiap tahunnya. Naik turunnya jumlah kasus tersebut membuktikan bahwa pihak aparat kepolisian dan pemerintah belum mampu menangani kasus tersebut dengan baik. Penipuan online yang berada pada urutan kedua juga merupakan suatu kondisi yang menyatakan bahwa kasus penipuan online menjadi penyumbang kedua terbesar dalam aksi kejahatan siber yang terjadi di Indonesia.

Dasar Hukum mengenai Tindak Pidana Aksi Penipuan Berbasis Online

Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang menjadi perbedaan hanya pada sarana perbuatannya yakni menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi) sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana tindak pidana konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan. Tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang berbunyi :

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."

Menurut P.A.F. Lamintang (1997 : 142), tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok yang diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Padana (KUHP) terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut  :

1. Unsur subjektif :

  • Dengan maksud atau met het oogmerk dalam hal ini beritikad buruk
  • Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam hal ini mencari keuntungan dengan memanfaatkan kondisi kebutuhan masyarakat
  • Secara melawan hukum atau wederrechtelijk dalam hal ini dengan perbuatan yang menentang undang undang atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan

2. Unsur objektif :

  • Barangsiapa dalam hal ini pelaku menggerakkan orang lain agar orang lain itu :
  • Menyerahkan suatu benda
  • Mengadakan suatu perikatan utang
  • Meniadakan suatu piutang dengan memakai :
  • sebuah nama palsu
  • kedudukan palsu
  • tipu muslihat
  • rangkaian kata-kata bohong

Menurut R. Soesilo (1996 : 261), penipu dalam pasal tersebut pekerjaannya adalah  :

  • Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan utang;
  • Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum;
  • Membujuknya itu dengan memakai : nama palsu atau keadaan palsu atau akal cerdik (tipu muslihat) atau karangan perkataan bohong.

Mengenai ilegal konten, yaitu perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik."

Dan diacam dengan sanksi pidana oleh Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi : "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Pasal 35 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang, antara lain sebagai berikut : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik."

Untuk pembuktiannya, aparat penegak hukum dapat menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE :

  • Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  • Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Pengaturan mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan ini sangat diperlukan untuk melindungi konsumen yang melakukan transaksi jual beli secara online.

PENUTUP

1. Terdapat faktor yang membuat seseorang pada akhirnya memutuskan untuk melakukan tindak kejahatan. Namun disamping hal tersebut, tindakan kejahatan tidak dapat terealisasikan dengan baik jika tidak ada kelengahan dari calon korban. Terjadinya tindak kejahatan aksi penipuan berbasis online disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup, tidak mempunyai pekerjaan, rasa ingin sejajar dengan lingkungan yang berhasil, ingin proses yang instan dalam menghasilkan uang, sifat pribadi yang berasal dari dalam diri sendiri, adanya keinginan untuk memanfaatkan kelemahan jual beli secara online, kurangnya kehati-hatian calon pembeli, dan kepercayaan yang diberikan secara berlebihan kepada penjual.

2. Dalam menanggulangi terjadinya tindak kejahatan aksi penipuan berbasis online, aparat kepolisian dan pemerintah secara bersama-sama saling bahu-membahu untuk melakukan berbagai upaya penanggulangannya. Bentuk upaya tersebut dibagi ke dalam dua jenis, yaitu upaya preventif dan represif. Preventif dapat dilakukan dengan memberikan himbauan menggunakan broadcast, dan juga dalam bentuk sosialisasi melalui media elektronik. Represif dapat dilakukan dengan memproses setiap kasus penipuan online dan ditangani sesuai dengan aturan yang berlaku.

3. Tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP. Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok diatur di dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari unsur subjektif dan objektif. Mengenai ilegal konten, yaitu perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan diacam dengan sanksi pidana oleh Pasal 45 ayat (2). Mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang, diatur di dalam Pasal 35 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan untuk pembuktiannya, aparat penegak hukum dapat menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetak sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Lamintang, P.A.F. (1997). Delik-Delik Khusus. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Santoso, A. (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika.

Sugandhi, R. (1980). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.       

Soesilo, R. (1996). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bandung: Politeia.

Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 21 April 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58. Jakarta.

Skripsi :

Arryaguna, A.D. (2017). Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Penipuan Berbasis Online. Skripsi. Priogram Sarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nur, S.N. (2014). Tinjauan Viktimologis Tindak Pidana Penipuan Online Shop Melalui Situs Jejaring Sosial. Skripsi. Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.

Jurnal :

Sumenge, M.M. (2013). Penipuan Menggunakan Media Internet Berupa Jual-Beli Online. Lex Crimen Vol. II, No.4,102-112.

Situs :

Annur, C.M. (2020, September 8). Daftar Kejahatan Siber yang Paling Banyak Dilaporkan ke Polisi. Diakses pada 14 Januari 2021, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/08/daftar-kejahatan-siber-yang-paling-banyak-dilaporkan-ke-polisi

Pusparisa, Y. (2020, September 11). Ribuan Penipuan Online Dilaporkan dalam Lima Tahun Terakhir. Diakses pada 14 Januari 2021, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/ribuan-penipuan-online-dilaporkan-tiap-tahun

Putra, N.P. (2020, September 18). Kaesang Pangarep Jadi Korban Penipuan Jual Beli Online, Pelakunya 4 Bocah SMP. Diakses pada 12 Januari 2021, dari https://m.liputan6.com/news/read/4360143/kaesang-pangarep-jadi-korban-penipuan-jual-beli-online-pelakunya-4-bocah-smp

Syukur, M. (2020, September 10). Warga Pekanbaru Tertipu Jual Beli Emas Online Ratusan Juta Rupiah. Diakses pada 11 Januari 2021, dari https://m.liputan6.com/regional/read/4352024/warga-pekanbaru-tertipu-jual-beli-emas-online-ratusan-juta-rupiah

Wamad, S. (2021, Januari 01). 400 Orang Tertipu Pria Cirebon yang Lelang Sepatu Via Medsos. Diakses pada 11 Januari 2021, dari https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5317556/400-orang-tertipu-pria-cirebon-yang-lelang-sepatu-via-medsos

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun