"Tapi bagaimana kalau Pihak PT juga berkeras?"
"Mereka uangnya berkarung-karung pak" sambung seorang warga
"Besok saya akan ke kantor Suara Jelata. Saya akan klasifikasi"
"Klarifikasi" balas satu suara
"Oh iya. Itu"
Besoknya, di kantor Suara Jelata ia tahu dari orang yang namanya pemred bahwa headline itu dipesan pihak PT. Dua Ratus Juta harganya. Ia pun kemudian  menceritakan duduk masalahnya. Ketika malamnya ia sampai di Benciribut, ia disapa beberapa warga.
"Tenang saja."
"Saya sudah cerita semuanya"
"Saya bahkan mengisahkan asal usul desa ini" begitu ia bicara dengan sedikit bangga.
Tapi Suara Jelata edisi hari berikutnya tidak memuat kebohongan pihak PT seperti yang ia ceritakan. Suara Jelata justru menulis bahwa warga Benciribut adalah pengungsi. Mereka berasal dari pulau seberang yang 15 tahun lalu dilanda konflik. Mereka melarikan diri dan disilahkan menetap sebentar di wilayah yang sekarang ini adalah Benciribut. Tanah yang mereka tempati itu bukan milik mereka. Redaksi Suara Jelata bahkan memuat kembali berita kepadatan pulau itu. Karena kepadatan itulah komodo harus pindah ke NTT. Pulau itu harusnya yang mengirim transmigran. Bukan menerima. Orang-orang di Benciribut harusnya dikembalikan ke kampung mereka yang sekarang sudah damai.
Orang orang Benciribut kumpul lagi di rumah Pak Yoyohgi. Rembuk.