Mohon tunggu...
Mohamad Rifan
Mohamad Rifan Mohon Tunggu... Ilmuwan - digoogle aja, dia lebih pintar

iseng-iseng nulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indonesiasi Islam, Karena Islam Tidak Hadir Dalam Ruang Hampa Beragama

15 Februari 2019   23:53 Diperbarui: 16 Februari 2019   00:15 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mohamad Rifan dan Nurul Ula Ulya

Indonesia merupakan sebuah negara dengan konsep ideologi yang dikenal dengan nama Pancasila. Jika melihat sejarah pancasila, pada dasarnya yang menjadi kesepakatan para founding father untuk membentuk ideologi ini adalah "penggalian atas local wisdom dan local value yang ada di masyrakat". 

Local Wisdom tersebut berupa kearifan lokal yang telah tumbuh dan hidup di masyarakat sejak lama bahkan sebelum berdirinya bangsa ini. Sedangkan local value tersebut berupa nilai dan norma tidak tertulis yang telah lama diyakini dan menjadi pedoman kehidupan masyarakat.

Asal muasal tersebut terus berkembang dan akhirnya disepakati mengenai bagaimana local wisdom dan local value terkonsepsi dan terkodifikasi dalam sebuah ideologi sekaligus dasar negara. Bagaimana keberagaman local wisdom dan local value tersebut mampu menjadi ruh dan semangat bersama yang nantinya dapat digunakan untuk merawat negara ini dan mengantarkan pada cita-cita tertingginya.  

Maka keluarlah nama Pancasila sebagai sebuah konsensus atas sebuah ideologi dan dasar negara Indonesia. Kuatnya konsensus ini juga didasari oleh salah satu pesan tokoh pendiri bangsa, Insinyur Soekarno. Beliau mengatakan bahwa "ketika indonesia akan membuat sebuah ideologi, jangan sampai ideologi tersebut menjadikan Indonesia menjadi tamu di rumah sendiri". Itulah sebabnya Indonesia harus merumuskan sebuah ideologi yang digali dari akar bangsa sendiri dan mampu berdiri diatas keheterogenitasan sebuah bangsa itu sendiri.

Namun, kenyataan sejarah mengatakan bahwa terciptanya konsepsi pancasila dan rumusan sila-silanya yang saat ini kita terima tidak serta-merta berlaku begitu saja tanpa adanya hambatan. Banyak sekali pertegangan dan persinggungan yang telah mewarnai rumusan tersebut.

Yang paling menjadi masalah yang dipertegangkan adalah sila pertama tentang ketuhanan yang sempat berbunyi "ketuhanan yang maha esa dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Kenyataan bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah muslim menjadikan munculnya kubu kubu islamis yang mendukung terwujudnya sila ini, sila yang dianggap diskriminatif oleh kubu nasionalis. 

Bahkan pada tanggal 17 agustus 1945 sila pertama pancasila masih berbunyi demikian, sampai datanglah supucuk surat yang dibawa oleh kapal laut dari kalimantan yang ditujukan kepada sang tokoh bangsa Moh Hatta. Surat yang bersifat ultimatum yang pada intinya mengatakan bahwa "kami sebagai kaum minoritas akan pergi dan memisahkan diri dari Indonesia jika sila pertama masih berbunyi demikian". 

Sampai akhirnya Bung Hatta menyadari bahwa Pancasila dengan sila pertama yang saat ini kita terima adalah sebaik-baiknya konsepsi yang paling tegak berdiri diatas 34 provinsi dan 5 kepulauan. Itulah mengapa jika ditanya mengapa sila Pancasila tidak mengandung sila yang mengobligasikan Islam padahal pendiri pendirinya termasuk Ir. Soekarno dan Moh Hatta adalah seorang muslim? Jawabannya adalah karena Islam dan para pendiri bangsa tersebut hanyalah bagaikan seorang bidan yang melahirkan Pancasila namun Islam tidak diberikan tempat khusus, penghidupan dan keistimewaan dalam sila-silanya. Karena hakikatnya sudah jelas di awal, bahwa pancasila dibangun atas local value yang telah hidup bersama masyarakat Indonesia bahkan sebelum lahirnya negara ini, dan salah satunya adalah aspek "ketauhidan atau keimanan". Keimanan bagi para pemeluk animisme dan dinamisme pra agama, keimanan dan kebertuhanan bagi para kaum Hindu, Kristen, Buddha. Maka pada akhirnya perwujudan sila satu adalah deferensiasi dari nilai keimanan tersebut.

            Hari ini, kita melihat bahwa konsepsi dasar Pancasila yang telah paten itu kembali diuji eksistensinya, munculnya kelompok-kelompok Islamis menawarkan berbagai macam konsepsi, salah satunya adalah konsepsi NKRI bersyariah yang menginginkan pensyariatan Islam di setiap peraturan yang ada di Indonesia? Mengapa ada konsepsi tersebut? Sebenarnya belum syariahkan NKRI sampai muncul istilah tersebut? Mengapa ada kelompok-kelompok yang tidak menerima konsepsi ideologi yang sudah paten ini? Apalah mereka menganggap bahwa pancasila tidak islamis sehingga harus diganti? Esai ini akan menjawab sedikit permasalahan tersebut dan memberikan bukti apakah benar Pancasila tidak islamis dan bagaimana Islam memandang pancasila.

Jika dalam Islam kita memahami sebuah ayat dengan melihat asbabunnuzul, maka berbicara mengenai pandangan Islam terhadap ideologi tidak lain juga melihat sejarah Islam dan hukum yang dibawanya. Realitas yang jarang disadari dalam memandang Islam adalah pemahaman bahwa Nabi sebagai utusan Tuhan tidak datang dan diturunkan pada ruang masyarakat yang hampa akan hukum. 

Saat dia berdiri mengkhotbahkan agama baru, di sana sudah ada berbagai tradisi hukum. Jadi Nabi memang tidak bertujuan untuk menciptakan hukum yang sepenuhnya baru. Malahan seperti yang dikatakan oleh Schacht, seorang nabi hanya mengajari manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari agar bisa selamat di hari perhitungan dan masuk surga (Ratno : 2013). 

Garis besar dari pandangan tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa nabi adalah korektor bagi apa yang menyimpang, dan verifikator apa yang sudah benar. Selain itu nabi juga hanya memiliki waktu 23 tahun untuk mengembangkan sistem hukum. Sedangkan di pihak lain, aktivitas legislatif umat Muslim adalah persoalan yang tidak bisa dihentikan hanya karena keterbatasan usia seorang nabi. 

Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan ilmu metodologi penemuan hukum yang dinamakan ushul fiqh. Manusia memang tidak bisa menciptakan hukum, namun kemampuan akalnya mampu menemukan hukum yang standard dan rumus dasarnya sudah ditetapkan secara top-down. Karena itu ushul fiqh tidak serta-merta berdiri tanpa pijakan, namun awal Alquran dan sunnah menjadi konstitusi tertinggi yang melandasi dasar ijtihad dan upaya penemuan hukum lain yang menggunakan akal. Pada intinya para ulama dapat berkreasi dalam menemukan solusi permasalahan asalkan sesuai dengan prinsip umum yang sudah distandarkan.

Penemuan solusi permasalahan itulah yang kemudian diterapkan para ulama peletak dasar agama Islam pertama di Indonesia. Mereka menyadari bahwa mereka tidak datang pada masyarakat yang tidak memiliki pandangan agama sebelumnya. Justru Islam datang di Indonesia setelah pluralitas Hindu dan Buddha tersebar. 

Mereka kemudian menggunakan metode khusus yang disebut sufisme (penyerahan diri pada tuhan) yang dianggap relevan dengan tradisi saat itu. Bagi mereka urgensi memperkenalkan masyarakat lokal kepada konsep Tuhan di dalam Islam terasa lebih penting ketimbang kebutuhan untuk membuat mereka patuh terhadap hukum. Itulah mungkin yang dapat menjelaskan kenapa Islam bisa sukses disebarkan di Indonesia, karena penyebarannya bukan dengan metode normatif tapi dengan metode substantif. Aturannya sederhana, yaitu orang harus memahami keberadaan Tuhan sebelum meminta mereka patuh pada hukumNya. Metode ke dalam (in-situ) inilah yang menciptakan etnitas baru yang sesuai dengan keadilan sosial.

Pancasila adalah bentuk ijtihad atas konsep ideologi negara yang menjawab persoalan ketidakadilan sosial dan diskriminasi itu. Pancasila mambawa pesan bagaimana ideologi utama hukum islam memberi ruang bagi ideologi hukum lain untuk bisa tetap hidup berdampingan. Bagaimana Pancasila mengkonstruksikan ajaran yang mengambil nilai substantif Islam ke dalam konstitusi dan diferensiasi aturannya, bukan memaksakan kenormatifan Islam secara ortodoks. Jadi tidak ada istilah bahwa Pancasila tidak syariah.

Hari ini kita adalah agen yang mampu menyalurkan virus-virus positif pemahaman Pancasila tersebut, salah satunya dengan berbicara dalam ruang-ruang publik yang sudah semakin mudah diakses oleh masyarakat. Semakin banyak yang berbicara menggaungkan pancasila dan ajarannya, semakin membumi dan melekatlah pancasila di hati sanubari bangsa! Kalau bukan kita yang merawat Pancasila, siapa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun