Saat dia berdiri mengkhotbahkan agama baru, di sana sudah ada berbagai tradisi hukum. Jadi Nabi memang tidak bertujuan untuk menciptakan hukum yang sepenuhnya baru. Malahan seperti yang dikatakan oleh Schacht, seorang nabi hanya mengajari manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari agar bisa selamat di hari perhitungan dan masuk surga (Ratno : 2013).Â
Garis besar dari pandangan tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa nabi adalah korektor bagi apa yang menyimpang, dan verifikator apa yang sudah benar. Selain itu nabi juga hanya memiliki waktu 23 tahun untuk mengembangkan sistem hukum. Sedangkan di pihak lain, aktivitas legislatif umat Muslim adalah persoalan yang tidak bisa dihentikan hanya karena keterbatasan usia seorang nabi.Â
Kenyataan itulah yang kemudian memunculkan ilmu metodologi penemuan hukum yang dinamakan ushul fiqh. Manusia memang tidak bisa menciptakan hukum, namun kemampuan akalnya mampu menemukan hukum yang standard dan rumus dasarnya sudah ditetapkan secara top-down. Karena itu ushul fiqh tidak serta-merta berdiri tanpa pijakan, namun awal Alquran dan sunnah menjadi konstitusi tertinggi yang melandasi dasar ijtihad dan upaya penemuan hukum lain yang menggunakan akal. Pada intinya para ulama dapat berkreasi dalam menemukan solusi permasalahan asalkan sesuai dengan prinsip umum yang sudah distandarkan.
Penemuan solusi permasalahan itulah yang kemudian diterapkan para ulama peletak dasar agama Islam pertama di Indonesia. Mereka menyadari bahwa mereka tidak datang pada masyarakat yang tidak memiliki pandangan agama sebelumnya. Justru Islam datang di Indonesia setelah pluralitas Hindu dan Buddha tersebar.Â
Mereka kemudian menggunakan metode khusus yang disebut sufisme (penyerahan diri pada tuhan) yang dianggap relevan dengan tradisi saat itu. Bagi mereka urgensi memperkenalkan masyarakat lokal kepada konsep Tuhan di dalam Islam terasa lebih penting ketimbang kebutuhan untuk membuat mereka patuh terhadap hukum. Itulah mungkin yang dapat menjelaskan kenapa Islam bisa sukses disebarkan di Indonesia, karena penyebarannya bukan dengan metode normatif tapi dengan metode substantif. Aturannya sederhana, yaitu orang harus memahami keberadaan Tuhan sebelum meminta mereka patuh pada hukumNya. Metode ke dalam (in-situ) inilah yang menciptakan etnitas baru yang sesuai dengan keadilan sosial.
Pancasila adalah bentuk ijtihad atas konsep ideologi negara yang menjawab persoalan ketidakadilan sosial dan diskriminasi itu. Pancasila mambawa pesan bagaimana ideologi utama hukum islam memberi ruang bagi ideologi hukum lain untuk bisa tetap hidup berdampingan. Bagaimana Pancasila mengkonstruksikan ajaran yang mengambil nilai substantif Islam ke dalam konstitusi dan diferensiasi aturannya, bukan memaksakan kenormatifan Islam secara ortodoks. Jadi tidak ada istilah bahwa Pancasila tidak syariah.
Hari ini kita adalah agen yang mampu menyalurkan virus-virus positif pemahaman Pancasila tersebut, salah satunya dengan berbicara dalam ruang-ruang publik yang sudah semakin mudah diakses oleh masyarakat. Semakin banyak yang berbicara menggaungkan pancasila dan ajarannya, semakin membumi dan melekatlah pancasila di hati sanubari bangsa! Kalau bukan kita yang merawat Pancasila, siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H