Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Mengajariku Pintar Marah

2 Juli 2021   14:18 Diperbarui: 2 Juli 2021   14:36 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terbangun karena suara anak-anak ribut di depan rumah. Hari masih siang, tapi tidurku terhalang. Tadi malam aku bekerja shift malam. Ingin rasanya membentak anak-anak itu.

Aku mencari sendal dengan ujung jempol kaki. Melihat wajah kusut di cermin. Kurang tidur! Aku baru saja terlelap sekian menit. Ah, anak-anak itu.

Hampir saja aku marah-marah, tapi urung. Aku melihat Anton di antara mereka. Dia anakku yang bertubuh bongsor. Suka berseberangan denganku. Sering membantah. Hampir setiap hari dia ribut berebut ponsel, atau beragam lainnya dengan si bungsu.

Apa sih yang mereka bicarakan? Tak sadar, bukan marah-marah, aku malah menguping.

"Ayahmu suka marah nggak?" Itu pertanyaan Anton kepada kawannya.

"Kadang-kadang. Kalau aku malas disuruh apa-apa, dia suka membentak. Tapi ketika tidak ada yang akan dikerjakan, dia lebih suka di belakang komputer. Atau sibuk bertelepon. Bila dia sedang senang, aku sering diajak jalan-jalan. Ayahmu suka marah nggak?"

"Enggak!"

"Asyik sekali! Aku ingin memiliki ayah yang demikian."

Anton menghela napas. Dia melanjutkan, "Ayahku memang nggak pernah marah. Tapi sejak aku berumur empat tahun, dia mulai sering mengajariku agar pintar marah."

"Maksudmu?"

Dan mulailah kenangan itu dikupasnya satu demi satu. Tentang seorang ayah yang pulang kerja hampir mirip banteng mengamuk. Si ayah menanyakan mana minumannya. Sementara seorang perempuan sedang menyuci pakaian di kamar mandi.

Si ayah marah-marah tak tahu aturan. Anton ada di antara mereka seakan kain gombal yang tak ada perasaan. Anton mungkin mulai berpikir, marah itu asyik. Si ayah berhasil perempuan itu menangis, ditambah sebuah engsel terlepas, hasil kesuksesannya memukul daun pintu.

"Pokoknya hampir tiap hari ayahku di rumah, kerjaannya marah-marah. Segala macam kata-kata jorok terbang dari mulutnya. Berbagai nama binatang berlompatan. Sejak itu aku mulai belajar bagaimana cara marah." Mata Anton seakan tertawa bengis.

Dia merasa bersyukur karena akhirnya setelah berusia enam tahun, dia memperoleh adik baru berjenis kelamin perempuan. Dia pendam keinginan mempraktekkan cara marah hampir empat tahun. Artinya, saat itu adiknya mulai mengerti dengan orang yang sedang marah.

Maka ketika ayahnya marah-marah dengan perempuan itu sepulang kerja, timbul giliran Anton memarahi adiknya, sedangkan si ayah sedang tertidur. Segala upaya Anton lakukan. Dia selalu berusaha membuat keributan. Misalnya, dia meminta perempuan itu membuat semisal es susu. Maka dia katakan kepada adiknya, bahwa es susu itu bukan main lezatnya. Saat si adik merengek minta dibagi, mulailalah Anton marah-marah mengeluarkan kata-kata jorok dan seluruh nama penghuni kebun binatang.

Hasilmya, mulutnya mulai belajar bagaimana pedasnya cabe giling. Perempuan itu yang melakukannya. Dia meminta ampun, berjanji tak akan melakukannya. Tapi besok dan besoknya lagi, dia dengan senang mengulang lagi, meski gagang sapu mulai bisa bicara. Meski dia sering diisiolasi di kamar mandi. Alangkah nikmatnya!

Si ayah juga seakan tak tahu malu sering mengomel. Bahwa marah-marah itu tak baik. Temannya setan. Anton hanya bisa terseyum. Sungguh tak sopan melawan guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu artinya marah yang dia punya, levelnya harus lebih tinggi dari level marah si ayah.

Rumah pun bagai kapal pecah oleh suara. Bising sekali setiap hari. Keributan yang memang diciptakan. Menciptakan amarah membara yang bisa membakar siapa saja.

Anton berdiri. "Asyik kan menjadi pemarah itu? Ayah berhasil mengajariku. Sekarang aku harus bekerja lagi." Dia seakan tentara siap perang mendatangi seorang gadis kecil yang sedang bermain anak-anakan. Boneka-boneka berhamburan dia tendang. Suara tangis terdengar, diikuti lengkingan istriku dari dapur. Sementara aku hanya bisa terduduk lesu di depan cermin. Melihat wajah seorang lelaki; ayah yang gagal mendidik anakya.

----

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun