Si ayah marah-marah tak tahu aturan. Anton ada di antara mereka seakan kain gombal yang tak ada perasaan. Anton mungkin mulai berpikir, marah itu asyik. Si ayah berhasil perempuan itu menangis, ditambah sebuah engsel terlepas, hasil kesuksesannya memukul daun pintu.
"Pokoknya hampir tiap hari ayahku di rumah, kerjaannya marah-marah. Segala macam kata-kata jorok terbang dari mulutnya. Berbagai nama binatang berlompatan. Sejak itu aku mulai belajar bagaimana cara marah." Mata Anton seakan tertawa bengis.
Dia merasa bersyukur karena akhirnya setelah berusia enam tahun, dia memperoleh adik baru berjenis kelamin perempuan. Dia pendam keinginan mempraktekkan cara marah hampir empat tahun. Artinya, saat itu adiknya mulai mengerti dengan orang yang sedang marah.
Maka ketika ayahnya marah-marah dengan perempuan itu sepulang kerja, timbul giliran Anton memarahi adiknya, sedangkan si ayah sedang tertidur. Segala upaya Anton lakukan. Dia selalu berusaha membuat keributan. Misalnya, dia meminta perempuan itu membuat semisal es susu. Maka dia katakan kepada adiknya, bahwa es susu itu bukan main lezatnya. Saat si adik merengek minta dibagi, mulailalah Anton marah-marah mengeluarkan kata-kata jorok dan seluruh nama penghuni kebun binatang.
Hasilmya, mulutnya mulai belajar bagaimana pedasnya cabe giling. Perempuan itu yang melakukannya. Dia meminta ampun, berjanji tak akan melakukannya. Tapi besok dan besoknya lagi, dia dengan senang mengulang lagi, meski gagang sapu mulai bisa bicara. Meski dia sering diisiolasi di kamar mandi. Alangkah nikmatnya!
Si ayah juga seakan tak tahu malu sering mengomel. Bahwa marah-marah itu tak baik. Temannya setan. Anton hanya bisa terseyum. Sungguh tak sopan melawan guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu artinya marah yang dia punya, levelnya harus lebih tinggi dari level marah si ayah.
Rumah pun bagai kapal pecah oleh suara. Bising sekali setiap hari. Keributan yang memang diciptakan. Menciptakan amarah membara yang bisa membakar siapa saja.
Anton berdiri. "Asyik kan menjadi pemarah itu? Ayah berhasil mengajariku. Sekarang aku harus bekerja lagi." Dia seakan tentara siap perang mendatangi seorang gadis kecil yang sedang bermain anak-anakan. Boneka-boneka berhamburan dia tendang. Suara tangis terdengar, diikuti lengkingan istriku dari dapur. Sementara aku hanya bisa terduduk lesu di depan cermin. Melihat wajah seorang lelaki; ayah yang gagal mendidik anakya.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H