Aku terbangun karena suara anak-anak ribut di depan rumah. Hari masih siang, tapi tidurku terhalang. Tadi malam aku bekerja shift malam. Ingin rasanya membentak anak-anak itu.
Aku mencari sendal dengan ujung jempol kaki. Melihat wajah kusut di cermin. Kurang tidur! Aku baru saja terlelap sekian menit. Ah, anak-anak itu.
Hampir saja aku marah-marah, tapi urung. Aku melihat Anton di antara mereka. Dia anakku yang bertubuh bongsor. Suka berseberangan denganku. Sering membantah. Hampir setiap hari dia ribut berebut ponsel, atau beragam lainnya dengan si bungsu.
Apa sih yang mereka bicarakan? Tak sadar, bukan marah-marah, aku malah menguping.
"Ayahmu suka marah nggak?" Itu pertanyaan Anton kepada kawannya.
"Kadang-kadang. Kalau aku malas disuruh apa-apa, dia suka membentak. Tapi ketika tidak ada yang akan dikerjakan, dia lebih suka di belakang komputer. Atau sibuk bertelepon. Bila dia sedang senang, aku sering diajak jalan-jalan. Ayahmu suka marah nggak?"
"Enggak!"
"Asyik sekali! Aku ingin memiliki ayah yang demikian."
Anton menghela napas. Dia melanjutkan, "Ayahku memang nggak pernah marah. Tapi sejak aku berumur empat tahun, dia mulai sering mengajariku agar pintar marah."
"Maksudmu?"
Dan mulailah kenangan itu dikupasnya satu demi satu. Tentang seorang ayah yang pulang kerja hampir mirip banteng mengamuk. Si ayah menanyakan mana minumannya. Sementara seorang perempuan sedang menyuci pakaian di kamar mandi.