Rahang saya mengeras. Sorot mata menghunus kelam, sembari perlahan saya memukul tangan-tangan kursi.
Hampir pukul sepuluh malam. Satu-dua suara mobil memecah sunyi. Cahaya lampunya menyilet kaca jendela, kemudian lenyap seiring hilang derum. Hanya sisa hujan bernyanyi lirih; tes, tes, tes.
Jujur saya amat galau karena ulah Liban, menantu tak berperasaan itu! Ketika Sisil masih hidup, saya laksana raja, dilayani dan dihormati. Namun tak lagi sepeninggalnya lima tahun lampau, Liban bagai harimau kurang makan. Ganas! Bertambah ganas setelah hadir perempuan bermulut pedas pengganti Sisil. Saya kemudian ditendang begitu saja ke panti werdha, dengan alasan agar ada yang merawat.
Saya tercampakkan.
Pertama kali menjadi penghuni panti itu, rambut saya masih ada yang hitam beberapa helai. Tapi tak lagi malam ini, sempurna perak serupa atap seng menyilaukan mata. Keriput kulit saya melimpah. Saya cemas kelak akan menjelma sosok zombie serupa Mardan, makan saja harus disuapi sebab asam urat kronis. Sendi-sendi jemari tangannya bengkak dan merah.
Saya akan mati membusuk di sini, berulat, terbiarkan, sebelum terpaksa dikubur karena berbau tak nyaman.
Kawan tak bersisa, kecuali ada beberapa orang yang mengantar pemakaman saya; Mardan, beberapa renta, suster kepala, seorang-dua suster penjaga, dan keluarga Liban---andaikata mereka ingin.
"Belum tidur, Sopuan?" tanya Mardan. Saya pura-pura tak mendengar.Â
"Rupanya hujan sudah berhenti, baiknya jendela dibuka biar pengap minggat." Dia seolah berbicara kepada diri sendiri, sembari terseok menuju jendela.
Saya diam, pura-pura peduli karena selain mengidap asam urat kronis, dia juga darah tinggi, selalu merasa udara menjelma pengap bila penyakitnya kumat. Berbeda dengan saya, mengidap bengek, dan kurang suka udara dingin.
Dia sering marah apabila mencium bau alkohol. Padahal dia mafhum saya seringkali membunuh udara dingin dengan botol gepeng itu. Saya sesekali menyelundupkannya lewat tangan satpam. Menenggak isinya di kamar mandi hingga sempoyongan, dan teledor menumpahkannya ke pakaian saya. Kau tahu akhirnya Mardan muntab. Terjadi perang dingin di antara kami.
Kalimat yang sama pun kembali menguar dari mulutnya yang ceriwis; sudah aku katakan tak suka aroma alkohol, eh, kau tenggak pula.
Untungnya saya berbaik hati berhenti melakukannya---yang menurut Mardan buruk---belakangan ini, bukan lantaran tobat, melainkan penjagaan semakin ketat. Para suster mulai tahu ada barang haram masuk diam-diam ke panti. Terlebih uang saku saya sudah sangat menipis, sementara Liban baru akan berkunjung dua minggu lagi.
"Sop, apa kau tahu ada barang baru di asrama putri? Kau sudah mengendusnya?" seloroh Mardan sambil menyesap teh tawar hingga tak bersisa.
"Kau pikir aku gukguk, bisa mengendus segala. Penciumanku sedang payah akibat flu. Apa mereka membeli alat olah raga? Atau kamar mandinya menyediakan dua suhu; panas dan dingin, agar tubuh mereka melepuh dan keriputnya tanggal. Atau agar mereka membeku serupa mumi." Saya terkekeh. Mardan  manyun. Selanjutnya saya tekankan, "Ingat, Mardan, saya bukan sop ayam. Jangan pernah kau panggil saya seperti itu, kendati apalah arti sebuah nama." Kami sama-sama rebahan, fokus menatap cicak di loteng, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Maksud saya ada anggota baru. Perempuan." Mardan duduk, meraup rambutnya yang awut-awutan. Seakan berbaik hati, dia menutup jendela, tapi beralih menghidupkan kipas angin pada level tiga. Sontoloyo!
"Hloh, apakah ada anggota mereka yang lelaki? Perjaka di sarang nenek-nenek dong." Saya tertawa ngakak.
"Terserah kaulah. Otak kurang seinchi memang susah diajak bicara." Mardan marah, membelakangi saya. Sebentar saja hanya dengkur halusnya tersisa memecah sunyi.
Kendati saya acuh tak acuh menanggapi berita yang dikabarkannya, saya perlahan terhasut juga, membayangkan seorang perempuan cantik, bertubuh singset, pemilik lesung pipi, dan kerling manja. Mungkinkah? Atau hanya seorang perempuan renta, berambut jarang, dengan pipi kempot, plus bau tubuh tak lepas dari aroma minyak angin.Â
Sejarahnya belum pernah hadir seorang perempuan menawan di panti werdha, kecuali dia salah seorang suster. Apakah yang dimaksud Mardan itu suster?
"Anggota baru itu maksudmu penghuninya atau suster?" Dengkur halus itu perlahan berubah keras. Artinya, Mardan  sangat tak ingin diganggu.
***
Jantung saya berdetak tak normal, saat sedang menjemur handuk, melihatnya menghirup udara dalam-dalam. Perempuan cantik pemilik senyum Monalisa. Meski tak muda lagi, namun masih ada sisa rupawan memeta wajahnya.
Saya seolah de javu, mendekati seorang perempuan yang sedang menunggu bis di halte selepas gerimis puluhan tahun lalu. Saya meminggirkan Vespa, mengasih helm, serta mengatakan hujan sudah usai. Saya hanya ingin mengatakan; naiklah di boncengan.
Kami menjadi sepasang merpati yang tak pernah ingkar janji. Ke mana-mana mesti bersama. Hingga setamat SMA, tamat pula cinta kami. Saya harus mengikuti jejak ayah ke pulau kecil dan terpencil, ribuan kilometer jauhnya. Kami menetap di sana, mungkin sampai membusuk tak pindah ke lain tempat, hingga ayah pensiun, dan anumerta.
Saya kembali terlempar ke kota ini untuk mencari kepacakan---kepintaran sekian tahun kemudian, tapi sayang, cinta kami telah terkubur. Saya tak lagi menemukan perempuan itu di antara ribuan puzzle perempuan, apakah dia masih jomlo atau memiliki pasangan, atau sudah meninggal! Ah, perkiraan itu terlalu jauh, semoga saja dia masih cantik meski sudah bersuami. Â
Saya setapak demi setapak membangun kerajaan bisnis, tapi  tetap melajang hingga berusia alot.  Hingga waktu memaksa saya menikah dengan perempuan lain minus cinta, lalu menghasilkan putri tunggal bernama Sisil.
***
Saya tak sadar menerjang pintu kamar. Mardan terkejut. Rambutnya yang tersisir rapi, mendadak awut-awutan. Minyak sinyongnyong begitu tajam menusuk hidung. Hendak ke mana kawan satu ini? Masih pagi sudah rapi, dan wangi.
"Mengejutkan saya saja!" ketusnya sambil merapikan rambut.
Saya duduk di bibir tempat tidur, membayangkan si pemilik senyum Monalisa. Saya yakin itu dia, perempuan yang pernah mengisi relung hati saya semasa SMA. Jangan sampai Mardan, mendahului mendekatinya.
Sontoloyo itu tersenyum kecil saat keluar kamar seakan budak---anak muda semaput cinta. Melambai sebentar sebelum menutup pintu seolah mengejek. Kurang ajar!
Hati saya panas, lalu bergegas mengenakan baju paling bagus bermotif kotak-kotak. Tapi saya mesti menggantinya karena tak ingin dituduh membawa cinta kotak-kotak. Cinta itu harus penuh warna dan aroma. Katakahlah cinta dengan bunga.
Pilihan saya selanjutnya baju berwarna merah cerah bermotif kembang-kembang. Cukup norak, meski cara itu cukup menarik perhatian. Saya tak ingin kalah dengan Mardan. Sontoloyo itu pasti ke asrama perempuan bertemu dia.
Ternyata benar, lelaki itu sudah santai di teras bersamanya. Tapi kharisma saya tetap lebih kuat sehingga Mardan tercampakkan. Perempuan itu berdiri menatap heran seolah tak percaya. Apakah benar yang berdiri di depannya adalah Sopuan?
"Iya, saya Sopuan, lelaki yang pernah kau kenal. Saya mengingatmu, Â Inge. Nyaris sepanjang waktu."
"Kau tetap penggombal!" Dia menyalami, nyaris memeluk saya. Mardan sadar diri, menjauh, dan pulang. Baguslah!
Lalu cerita pun berhamburan. Inge sama seperti saya sudah menjomlo sekian tahun.
Saya lebih beruntung, hanya menantu yang tak menyayangi lagi, Â tapi dia anak-menantunya sepakat menendangnya ke penjara ini. Dengan alasan biar ada yang merawat, atau dengan kata lain agar tak merepotkan! Kami berbincang hingga tak sadar menghabiskan beberapa keping biskuit, dan tak menyadari kopi susu seterang fajar.
Saya diam-diam harus berterima kasih kepada Liban, karenanyalah saya bertemu Inge. Karenanyalah asa saya mekar. Saya  menangkap rasa bahagia menyemburat di pipi perempuan itu.
Puncaknya suster memuji saya. Saat makan siang, saya begitu lahap melantak bubur sepiring penuh. Biasanya saya hanya sanggup menikmati setengahnya. Itu pun dengan ceracauan menyakitkan telinga. Dari makanan keraslah, keenceran, kurang garam, bla, bla, bla.
"Sus, nanti malam bawakan saya nasi, jangan bubur lagi."
Suster tersenyum sebelum menghilang di balik pintu. "Apa Bapak yakin bisa mengunyahnya?"
Saya sadar sudah mutlak ompong. Akibatnya saya terkekeh. Mardan cemburu. Bubur yang dia makan berlepotan di bajunya. Suster beberapa kali menggerutu.
Saya berjalan ke cermin. bangga melihat wajah rupawan saya menjadi lebih muda sekian tahun. Keriput berkurang. Rambut seakan hitam beberapa helai.
Saya ingin hidup seribu tahun lagi.
Tak salah toh saya kembali jatuh cinta?Â
Usia bukanlah pengambat. Sama halnya jarak, cinta itu fleksibel. Kenapa harus malu kalau kakek-nenek jatuh cinta? Ya, kau mungkin malu. Bukankah kami punya keinginan disayang?
Saya berubah seratus delapan puluh derajat, semakin gagah dan sehat. Penyakit bengek saya sembuh. Saya tak hirau botol gepeng itu. Sementara Mardan semaput. Dia berulangkali mengatakan, kalah selangkah dari saya. Dia menyesal kenapa hidungnya tak seperti punya saya, sedikit mancung, dan tak pesek serupa jambu bol miliknya. Mungkin hati Inge tersangkut di situ.
Oh ya, Liban terkejut melihat saya semakin segar. Rasa bersalahnya karena menendang saya ke panti menjadi berkurang. Lagi pula saya berulangkali berterima kasih entah untuk apa. Dia menambahi uang saku saya. Saya terlonjak gembira. Saya berjanji dalam hati akan meneraktir Inge sepuasnya bakso di seberang panti, meski kami melakukannya harus kucing-kucingan dengan suster.
Oh ya, jangan lupa bila kelak saya dan Inge berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan paling sepktakuler sejagat, semua kerabat, termasuk Liban sekeluarga, juga kau, akan saya undang. Doakan terkabul!
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H