Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Tua

1 Januari 2021   20:58 Diperbarui: 1 Januari 2021   21:02 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Maksud saya ada anggota baru. Perempuan." Mardan duduk, meraup rambutnya yang awut-awutan. Seakan berbaik hati, dia menutup jendela, tapi beralih menghidupkan kipas angin pada level tiga. Sontoloyo!

"Hloh, apakah ada anggota mereka yang lelaki? Perjaka di sarang nenek-nenek dong." Saya tertawa ngakak.

"Terserah kaulah. Otak kurang seinchi memang susah diajak bicara." Mardan marah, membelakangi saya. Sebentar saja hanya dengkur halusnya tersisa memecah sunyi.

Kendati saya acuh tak acuh menanggapi berita yang dikabarkannya, saya perlahan terhasut juga, membayangkan seorang perempuan cantik, bertubuh singset, pemilik lesung pipi, dan kerling manja. Mungkinkah? Atau hanya seorang perempuan renta, berambut jarang, dengan pipi kempot, plus bau tubuh tak lepas dari aroma minyak angin. 

Sejarahnya belum pernah hadir seorang perempuan menawan di panti werdha, kecuali dia salah seorang suster. Apakah yang dimaksud Mardan itu suster?

"Anggota baru itu maksudmu penghuninya atau suster?" Dengkur halus itu perlahan berubah keras. Artinya, Mardan  sangat tak ingin diganggu.

***

Jantung saya berdetak tak normal, saat sedang menjemur handuk, melihatnya menghirup udara dalam-dalam. Perempuan cantik pemilik senyum Monalisa. Meski tak muda lagi, namun masih ada sisa rupawan memeta wajahnya.

Saya seolah de javu, mendekati seorang perempuan yang sedang menunggu bis di halte selepas gerimis puluhan tahun lalu. Saya meminggirkan Vespa, mengasih helm, serta mengatakan hujan sudah usai. Saya hanya ingin mengatakan; naiklah di boncengan.

Kami menjadi sepasang merpati yang tak pernah ingkar janji. Ke mana-mana mesti bersama. Hingga setamat SMA, tamat pula cinta kami. Saya harus mengikuti jejak ayah ke pulau kecil dan terpencil, ribuan kilometer jauhnya. Kami menetap di sana, mungkin sampai membusuk tak pindah ke lain tempat, hingga ayah pensiun, dan anumerta.

Saya kembali terlempar ke kota ini untuk mencari kepacakan---kepintaran sekian tahun kemudian, tapi sayang, cinta kami telah terkubur. Saya tak lagi menemukan perempuan itu di antara ribuan puzzle perempuan, apakah dia masih jomlo atau memiliki pasangan, atau sudah meninggal! Ah, perkiraan itu terlalu jauh, semoga saja dia masih cantik meski sudah bersuami.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun