Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Tua

1 Januari 2021   20:58 Diperbarui: 1 Januari 2021   21:02 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lebih beruntung, hanya menantu yang tak menyayangi lagi,  tapi dia anak-menantunya sepakat menendangnya ke penjara ini. Dengan alasan biar ada yang merawat, atau dengan kata lain agar tak merepotkan! Kami berbincang hingga tak sadar menghabiskan beberapa keping biskuit, dan tak menyadari kopi susu seterang fajar.

Saya diam-diam harus berterima kasih kepada Liban, karenanyalah saya bertemu Inge. Karenanyalah asa saya mekar. Saya  menangkap rasa bahagia menyemburat di pipi perempuan itu.

Puncaknya suster memuji saya. Saat makan siang, saya begitu lahap melantak bubur sepiring penuh. Biasanya saya hanya sanggup menikmati setengahnya. Itu pun dengan ceracauan menyakitkan telinga. Dari makanan keraslah, keenceran, kurang garam, bla, bla, bla.

"Sus, nanti malam bawakan saya nasi, jangan bubur lagi."

Suster tersenyum sebelum menghilang di balik pintu. "Apa Bapak yakin bisa mengunyahnya?"

Saya sadar sudah mutlak ompong. Akibatnya saya terkekeh. Mardan cemburu. Bubur yang dia makan berlepotan di bajunya. Suster beberapa kali menggerutu.

Saya berjalan ke cermin. bangga melihat wajah rupawan saya menjadi lebih muda sekian tahun. Keriput berkurang. Rambut seakan hitam beberapa helai.
Saya ingin hidup seribu tahun lagi.
Tak salah toh saya kembali jatuh cinta? 

Usia bukanlah pengambat. Sama halnya jarak, cinta itu fleksibel. Kenapa harus malu kalau kakek-nenek jatuh cinta? Ya, kau mungkin malu. Bukankah kami punya keinginan disayang?

Saya berubah seratus delapan puluh derajat, semakin gagah dan sehat. Penyakit bengek saya sembuh. Saya tak hirau botol gepeng itu. Sementara Mardan semaput. Dia berulangkali mengatakan, kalah selangkah dari saya. Dia menyesal kenapa hidungnya tak seperti punya saya, sedikit mancung, dan tak pesek serupa jambu bol miliknya. Mungkin hati Inge tersangkut di situ.

Oh ya, Liban terkejut melihat saya semakin segar. Rasa bersalahnya karena menendang saya ke panti menjadi berkurang. Lagi pula saya berulangkali berterima kasih entah untuk apa. Dia menambahi uang saku saya. Saya terlonjak gembira. Saya berjanji dalam hati akan meneraktir Inge sepuasnya bakso di seberang panti, meski kami melakukannya harus kucing-kucingan dengan suster.

Oh ya, jangan lupa bila kelak saya dan Inge berhasil menyelenggarakan pesta pernikahan paling sepktakuler sejagat, semua kerabat, termasuk Liban sekeluarga, juga kau, akan saya undang. Doakan terkabul!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun