Ito kemudian mengajakku memasuki kamar Bang bahar. Dia mengambil tumpukan kertas di atas lemari. Kertas itu dia letakkan di atas lantai, lalu kami bersila.
Aku terbelalak melihat ada lukisanku semasa esde, agak kabur karena dilukis memakai pensil. Kemudian wajah gadis muda dengan pipi seperti merona merah. Itu aku yang sedang mengenakan gaun warna pink bermotif kembang-kembang. Nah, ada juga lukisanku saat hamil. Imajinasi Bang Bahar memang jempolan. Ketika itu, sesungguhnya kami sudah lima tahun tidak pernah bersua.
Ito pernah menyarankan Bang Bahar agar memperistri perempuan lain, tapi lelaki itu tetap bertahan mencintaiku hingga ajal menjemputnya. Mencintai seseorang itu tidak mesti memilikinya. Sebaliknya memiliki seseorang itu belum tentu mencintainya.
Tiba-tiba terdengar suara serak di halaman. Kami kalang kabut. Ito bergegas merapikan lukisan milik Bang Bahar, meletakkannya di tempat semula. Kami menyambutnya di ruang tamu dengan wajah sumringah, agar dia tak curiga tentang apa saja yang baru saja kami lakukan.
“Aku sampai keliling-keliling kampung mencarinya. Tapi semua sudah menjadi gula aren. Untung si Tungkap baru saja mengambil hasil menyadap. Nira ini memang rejekimu, Tiur.” Sebentar kemudian suara di meja makan mulai ramai, antara bercerita diselingi tawa, juga cap-cup kepedasan merasai rendang belut yang tajam rasa ladanya. Suara bertambah ramai ketika anak-istri Ito menyusul juga Ayah dengan Emak. Untung saja Bang Bahar memasak lumayan banyak.
***
Kaca jendela berkabut karena hujan bertambah lebat. Hujan lebat itu sebagian berpindah di mataku. Terngiang senandung Bang Bahar; belut, kedondong, asam, jambu, singgah sebentar agar bibir tak maju.
Senandungnya tak mungkin lagi kudengar. Pun kuliner enak menggoda. Pun lelaki yang mencintaiku hingga ajal menjemputnya. Aku ingin sekali lagi melihat wajah ramahnya yang terakhir kali, sebelum liang lahat memeluknya. Tapi itu tak mungkin. Aku sedang hamil sangat tua. Mungkin beberapa hari lagi aku akan melahirkan.
Sepasang tangan kemudian memelukku dari belakang. Sebentuk dagu dengan jenggot kasar menancap di bahuku. Aku mencoba tersenyum sambil mengacak rambutnya. Mudah-mudahan dia bukan seorang lelaki yang berhasil memiliki tapi belum tentu menyintaiku.
0o0o0o0sekian0o0o0o0
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H