Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bang Bahar

12 April 2020   10:25 Diperbarui: 23 Agustus 2020   17:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi tetap saja kenangan itu tak bisa lenyap dari ingatan. Gulai daun ubi tumbuk, rendang belut, sambal tuk tuk, semur jengkol, dan beragam kuliner lain yang membuat lidah berjoget. 

Ya, masakan Bang Bahar memang serupa magnet. Selalu dan selalu membuatku mampir makan di rumahnya. Haha, kau tahu dia seringkali membuat Emak cemburu ketika mengajakku makan malam. “Oh, tadi sudah makan di rumah Bang Bahar, Mak.” Hasilnya cemberut Emak muncul di ujung bibir. 

Ayah terbahak sambil mengajuk agar dia sekali-sekali diajak makan di rumah Bang Bahar. Lalu ada jeritan kecil pertanda cubitan Emak telah mendarat di pinggang Ayah. 

Namun untuk menyenangkan hati Emak, paling tidak aku mengicip lauk goreng, seperti  tempe, perkedel, atau ayam. Hasilnya cemberut Emak tawar, dan dia menghadiahi susu hangat agar kulitku seputih susu. Hei, apa ada hubungan susu dan kulit putih?

“Wow, Tiurma, kau masih tahu arah rumah Bang Bahar, ya?” Sebentuk wajah bulat telor muncul di jendela bertirai merah. Masih kuingat wajahnya, meski wajah bulat itu bertambah gembung.

“Mana pula aku bisa lupa! Melihat wajah bulatmu, aku yakin seratus persen, ini rumah Bang Bahar.” Aku tertawa. Wajahnya lenyap, lalu muncul di teras menjadi seorang lelaki yang bulat utuh bernama Ito. 

Dia mempersilahkanku duduk di ruang tamu. Aroma rendang belut benar-benar menguar. Bang Bahar memang tahu seleraku.   “Kau tinggal di sini juga ya, To?”

“Memangnya aku tidak menikah sehingga harus tetap di rumah Wak Bahar?” Dia tertawa. Perlu kuceritakan, Ito itu sebatang kara. Sejak umur enam tahun, Ayah-Ibunya sudah meninggal dunia karena diserang harimau mengamuk yang masuk kampung. Sejak itu dia dirawat Bang Bahar. “Aku bukan Bang Bahar yang melajang sampai sekarang,” lanjutnya.

“Lho, Bang Bahar belum menikah, ya?”

“Dia tak akan menikah karena tak  bisa memperistrikan kamu. “ Ito seperti keceplosan ngomong. Dia menutup mulut, beralasan hanya bercanda. Sebab kudesak terus, akhirnya dia membongkar rahasia. 

Bahwa dulu ketika aku esde, Bang Bahar sudah menyukaiku meski sebatas anak. Beranjak aku mekar, pemilik dada yang mengkal, Bang Bahar lambat-laun beralih mencintaiku. Ito selalu menjadi tempat mencurahkan isi hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun