Tapi manakala dia bercerita sedih misalnya tentang ratapan anak tiri, aku mengingatnya hingga seminggu, dan pekan berikutnya aku memintanya untuk tidak bercerita yang sedih-sedih.Â
Apalagi tentang ratapan anak tiri. Aku sangat tak ingin karena aku juga anak tiri. Bedanya aku tak pernah meratap. Ibu tiriku---maksudkku Emak--baik hati. Meski aku tetap saja sering merenung sendiri di jendela ketika hujan turun deras, mengingat Ibu kandungku.
Aku ingat dia berteriak histeris di lapik tipis, manakala mengejan, mengajak adik secepatnya keluar melihat dunia yang lebih lapang daripada rahim. Namun Tuhan ternyata lebih menyayangi, lalu mengajak mereka menambah jumlah kuburan di tanah wakaf itu.
Tinggal aku hidup sendiri tanpa saudara, sebab Emak tak pernah memberiku adik. Hanya Ito yang setia menemani, hingga Waldem menyuntingku dan membawa ke kota yang lebih besar. Ito-lah yang  selalu menemaniku ke lapak lelaki tua itu  yang tak lain adalah uwaknya.
"Kau Tiur, kan? Tiurma?" Dia begitu antusias. Aku mengangguk, membuatnya mengembangkan tangan, tapi urung memelukku. Dia sadar aku bukan gadis kecil lagi.Â
Di samping itu aku sudah istri orang. "Besar sekali kau sekarang!" lanjutnya. Dia memang selalu bicara ceplas-ceplos. Apa yang terbetik di benaknya, itulah yang akan dia katakan.
"Bang Bahar juga."
"Maksudmu aku juga besar?" Dia  terkekeh. Dia bercanda, aku hanya ingin mengatakan, Bang Bahar juga  semakin tua dan peot.
Oh, ya, kau mungkin bingung mengapa aku menyebutnya abang bukan uwak? Haha, itu memang permintaannya. Uwak itu hanya untuk panggilan orang yang sudah menikah. Sedangkan bagi dia yang belum beristri, lebih cocok dipanggil abang. Aku sampai sekarang tak paham peraturan itu datang  dari mana.
***
Rumahnya tak lagi seperti dulu, berdinding kayu racuk  disusun jarang-jarang. Beratap tumpukan ijuk yang membuatku terpesona. Sekarang dia menjadi rumah berdinding bata tanpa diplester.Â