Ito pernah menyarankan Bang Bahar agar memperistri perempuan lain, tapi lelaki itu tetap bertahan mencintaiku hingga ajal menjemputnya. Mencintai seseorang itu tidak mesti memilikinya. Sebaliknya memiliki seseorang itu belum tentu mencintainya.
Kembali aku hadir di pasar ini. Begitu banyak yang berubah. Pohon mahoni berjejal memagar gerah, rata dengan tanah. Tak pula ibu tua yang setia mendendang, menari entah untuk apa.Â
Tentu tak ada hubungan bedak dan nyanyian, juga  tari-tarian. Tapi asbab nyanyian-tarian, orang singgah membeli bedak. Entah memang perlu, atau hanya melepas iba melihat ibu itu berjuang tanpa main-main.
Hanya  gedung berlantai dua terlihat angkuh di tengah tanah lapang. Lantai pertama bagi mereka yang menjual kebutuhan pangan, sedikit becek dan amis. Lantai kedua bagi mereka yang menjual kebutuhan sandang, kering, beraroma wangi.
Namun hatiku lega ketika menemukan tebing itu masih berpenghuni. Oh, betapa kerut merut usia telah merubahnya. Dia tak banyak bicara, hanya sesekali mengibas lalat, lalu terkantuk-kantuk.Â
Dia begitu ringkih menghadapi kampung yang berbenah, lambat namun pasti menjadi kota. Dia seakan dipandang sebelah mata, bahkan seperti mencemooh, baik oleh pembeli, terlebih penjual.
Tak banyak yang berubah dari barang-barang yang memenuhi lapaknya. Tetap ada belut, kedondong, asam dan jambu air. Hanya satu yang beda, membuatku ingin tertawa. Dia juga berjualan kaus kutang juga sempak.
Senandungnya terngiang meski puluhan tahun berlalu; belut, kedondong, asam, jambu, singgah sebentar agar bibir tak  maju.
"Hai!" Suaranya terdengar serak. Kenangan itu seketika menghambur terbang. Tak sadar lesung pipiku mengembang. Matanya yang semula menyipit, perlahan membesar. Wajah kisutnya mekar.Â
Samar dia seakan mengingat sesuatu. Seorang gadis kecil dan anak laki-laki yang senang bertandang ke lapaknya sepulang sekolah setiap Sabtu. Apalagi kalau bukan membongkar gudang ceritanya yang terkadang mengada-ada. Aku puas tertawa hingga terbit air mata.Â