Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lagu Terakhir untuk Seorang Dei

2 Maret 2020   11:41 Diperbarui: 2 Maret 2020   11:59 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi :pixabay

"Tapi kenapa bukan Dei saja yang menyanyikannya? Genre lagu ini akan lebih indah kalau dinyanyikan perempuan," protes Binhard.

"Nah, di situlah kejutannya. Tak lebih sebulan lagi kan tanggal 9 Maret?"

"Apa hubungannya?"

"Kita akan selalu konser untuk merayakan Hari Musik Nasional di tempat yang sama. Jadi tiba saatnya nanti, kita suruh Dei menyanyikan lagu ini. Bagaimana?" Mereka kembali mengacungkan jempol. Dan aku berteriak bahagia.

Hingga ketika sedang melajukan motor membelah  kota yang basah oleh hujan, tetiba rasa bahagia itu tumpah menjadi kesedihan. Aku menerima telepon dari Om Saf. Kau masuk rumah sakit lagi, Dei. Dan kali itu kondisimu lebih parah. Kau berada di ruang ICCU.

Meski hujan bertambah deras, kuputar arah motor menuju rumah sakit. Aku sangat ingin menangis. Menangis sejadi-jadinya. Aku hanya boleh melihatmu dari dinding kaca. Kau terlihat pasrah. Semakin pasrah. Kehilangan semangat yang sangat. 

Om Saf berharap aku tabah. Padahal sebagai seorang ayah, aku melihat ceruk luka di matanya, amat dalam. Aku sama sekali tak bisa menemukan dasarnya. Bila kehilangan dirimu, maka dia pasti akan merasa kehilangan segalanya. Kau hanya anak tunggal!

"Aku akan tabah, Om Saf!" ucapku. Dia duduk di bangku panjang, mencoba menyembuhkan luka di dada yang mulai bernanah.

Perlahan kuketuk kaca jendela. Akhirnya! Kau menatapku. Sepertinya kau ingin tersenyum. Yang terlihat hanya seringaian. Aku terburu menempelkan kertas di kaca.  Di situ ada puisimu. Puisi itu telah menjadi syair lagu. Kau haru semangat! Kau juga harus tahu, aku dan semua orang ingin melihat dirimu menyanyikannya. Aku acungkan jempol.

Aku menekan dada, lalu membentuk tanda love. Menunjuk kamu seraya mengepalkan tinju. "Aku cinta kamu, Dei. Semangat!" Kau pun  tersenyum sangat samar. Matamu meredup. Terpejam. Tak sanggup melihatku lagi.

Kau tak ingin membuka mata, Dei. Hanya air mataku yang tumpah ketika tepat jam lima pagi, di antara gaung Azan Shubuh, suster menutup wajahmu dengan kain putih. Aku tak percaya. Kenapa harus dirimu, Dei? Kau masih sangat muda. Apakah kau sudah amat lelah menjalani hidup ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun