Saat jam istirahat, dia hanya duduk di bangkunya. Dia ingin ke kantin sekolah, tapi takut pergi sendirian. Beberapa kawannya mengajak Ima bermain lompat tali. Dia menjawab dengan menggeleng cepat. Gadis berwajah pucat yang duduk di bangku belakang, mengajak Ima main masakan-masakan.
"Ah, tidak! Aku di sini saja," jawab Ima.
Kelas akhirnya sangat sepi. Hanya Ima yang ada di situ. Hiii, dia tiba-tiba merasa seram. Bagaimana kalau  ada hantu? Kata Sapto, hantu itu suka mendatangi anak yang sendirian tanpa kawan.Â
Tapi Ima berusaha tenang. Mamanya selalu menasihati Ima agar jangan menjadi anak penakut. Hantu itu tidak ada. Yang ada hanya setan yang menakut-nakuti manusia.
Mendadak terdengar suara benda jatuh di sudut kelas. Apa itu? Apakah dia hantu? Ima ingin menangis, berlari keluar kelas. Namun kakinya tidak bisa melangkah. Keringat dingin mengalir di keningnya.
"Hei!" Suara itu semakin membuat Ima takut. Dia  memejamkan mata, tidak ingin melihat sosok hantu itu. "Kau kenapa?"
Ima membuka matanya perlahan. Ada sesosok berwajah pucat berdiri di depannya. "Han-han," teriak Ima gugup.
"Aku bukan hantu. Aku Suci. Aku duduk di belakang." Ima mengelus dadanya lega. Ternyata yang dikiranya hantu itu adalah si gadis berwajah pucat.
Ima menerima uluran tangan Suci. Lalu, terbata-bata dia mengatakan ada suara jatuh di sudut kelas. Apakah itu suara hantu? Ima tidak ingin belajar di kelas yang ada hantunya.
Suci tertawa terbahak-bahak. "Hantu?" Dia mengajak Ima melihat hantu itu. Oh, ternyata dia hanya seekor kucing anggora. Kucing itu milik Suci. Namanya Kiki. Dia berbulu lebat dan berwajah lucu. Eh, apakah ke sekolah diperbolehkan membawa hewan peliharaan?
Rupanya ayah Suci seorang penjaga sekolah. "Kami memang tinggal di lingkungan sekolah ini. Kiki sering bermain di kelas kita. Dia suka mencari tikus untuk mainan. Hahaha."