Ayah seorang pengatur. Di situ aku tak suka. Meski selama ini setiap keinginanku kerap dia turuti. Bahkan,  Ayah lebih cerewet dari Ibu. Apa-apa saja dia atur, mulai dari cari berpakaian hingga menyisir rambut. Jangan kata misalnya aku lupa mematikan kran, sementara  air di bak sudah melimpah. Sementara aku sedang buru-buru berangkat ke sekolah. Yakinlah, kejadian tak mengenakkan ini akan membuatku terlambat tiba di pintu gerbang yang sudah di gembok Pak Saad.
Ayah bertanya mengapa aku tak memandikan kran setelah mandi. Air sampai melimpah itu mubazir. Ayah bukan memikirkan uang untuk membayar iuran. Meski dia  merasa rugi. Tapi coba aku pikirkan berapa biaya perusahaan air minum untuk mengolah banyu butek menjadi jernih dan bisa diminum.
Aku tak pernah berpikir bagaimana orang terkadang tahan bergelut gegara berebut air di lahan tandus. Belum lagi  ketika kemarau, orang-orang harus shalat meminta hujan saking inginnya melihat bumi basah. Apa aku tak pernah berpikir air yang terbuang itu bagi orang lain terkadang lebih berharga dari uang? Bagaimana kalau kemarau panjang, dan air yang hendak dibeli tak ada? Bagaimana? Bagaimana?Â
Akibat pekerjaan mubazir itu, aku akhirnya terlambat masuk ke sekolah.  Ibu Kepala menyuruhku merumput di halaman sekolah seperti kambing sebagai hukuman. Memang tak sama dengan binatang itu, karena rumput hanya kucabuti. Tapi aku bekerja bersama kambing Pak Saad di bawah terik matahari. Ibu Kepala  mengatakan siswa yang terlambat sekolah itu sama dengan kambing. Kambing juga baru boleh keluar dari kandang saat matahari mulai terik. Sial!
Belum lagi tentang kipas angin dan barang elektronik lain yang kubiarkan menyala, sementara tak  ada orang yang mempergunakannya. Ayah kembali menjadi hakim di meja makan. Apa jadinya bermubazir listrik. Berapa banyak pekerja listrik berjibaku agar  kami bisa nyaman. Tapi limpahan keringat mereka tak kuhargai.
Belum lagi minyak untuk menghidupkan listrik itu, bukan ibarat air yang setiap hari bisa bersirkulasi dan kemungkinan tetap ada. Tapi minyak bumi pada saatnya tak kering. Â Minyak itu berasal dari fosil. Fosil itu baru bisa menjadi minyak bisa jutaan tahun lamanya. Apa aku tak berpikir? Â Asal memakai saja sambil berkata bahwa itu bisa dibayar atau dibeli. Hidup ini bukan sebatas uang dan uang, Anno!
Juga urusan kamar yang tak rapi. Kalau masuk ke rumah harus menutup pintu. Selalu meletakkan barang pada tempatnya, hingga jika sedang perlu tidak susah mencarinya. Semua harus terkontrol, semua, semua. Bla bla bla. Aku terkadang malu jika Ayah berlaku begitu saat temanku bertamu. Kalau habis minum, gelas kotor letakkan di dapur. Kan ada Bik Nem? Malu kan didengar kawan? Aku terkadang diledek mereka, karena Ayah seperti emak-emak.
"Aku sudah besar. Kuliah. Sebentar lagi sarjana." Gerutuku kepada Ibu yang sedang menjemur pakaian. Hari itu aku kesal betul karena Ayah menyuruhku membersihkan motor. Hidup itu jangan hanya bisa memakai saja, tapi harus pintar juga merawat. Kan enak kalau bertemu cewek, dia akan kagum melihat motorku yang kinclong.
Biasanya cowok yang selalu motornya bersih, mustahil orangnya urakan dan jorok. Mudah-mudahan hatinya juga bersih. Ayah mengatakan itu dengan nada bercanda. Tapi membuat emosiku naik ke ubun-ubun. Tapi semarah-marahnya aku, aku hanya diam, dan membiarkan Ayah berkicau seperti cucakrawa.
"Jadi apa masudmu, Anno?" tanya Ibu. Amel menggodaku dengan handuk buduk. Alhasilnya tangki minyak yang sudah kinclong menjadi buram kena hantam handuk itu. Tumbuh tanduk di kepalaku. Api menyembur dari lobang hidung.
Ingin kuhajar perempuan itu. Dia mengadu kepada Ayah. Dia takut  melihat matamu seakan memiliki taring. Seperti biasa suara Ayah akan terdengar hingga ke halaman, "Anno!"
Aku kemudian bercerita kepada Ibu, bahwa aku  bosan hari-hari selalu diatur Ayah. Ibu hanya terkekeh. Ketika aku cemberut, Ibu perlahan mengelus lenganku. Bagi orangtua, anak tetaplah diperlakukan seperti anak-anak, meski si anak sudah berkeluarga. Si anak tetap saja dianggap cengeng dan manja seperti masih muda. Makanya, meski aku sudah berkeluarga, tugas orangtua tetap seperti dulu, suka mencereweti, bukti kasih sayang itu tulus.
Mati aku! Bukannya dibela Ibu, telingaku sampai bindeng mendengar petuahnya. Tapi sekali lagi, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Aku tak mau bernasib seperti Om Darno. Karena suka melawan orangtua, sampai sekarang dia masih melajang. Walaupun usianya hampir limapuluhan.
Hingga di suatu hari---sebulan setelah aku memperoleh ijazah sarjana---aku mengikuti tes masuk kerja di perusahaan besar itu. Tiba giliranku membahagiakan orangtua. Tapi apakah semudah itu aku akan diterima?
Sekarang ini mau apa-apa harus dengan pulus. Sepertinya tak ada harapan bagi pelamar akan diterima kerja bila ngotot menempuh jalur murni. Paling tidak kalau bukan dengan pulus, aku harus ada koneksi alias orang dalam. Tapi orangtua meyakinkanku agar tetap optimis.
Entah terpengaruh tabiat Ayah yang pengatur, aku tak dapat dengan begitu saja mengenakan pakaian sembarangan. Aku berusaha tampak rapi, termasuk sisiran. Maka setelah mohon restu mereka, aku berangkat untuk melamar pekerjaan.
Saat turun dari taksi, ekor mataku tiba-tiba melihat seorang bapak yang kepayahan mengumpulkan buah-buahan yang berserakan. Hmm, cuek sajalah. Â Pura-pura tak melihat. Apalagi waktu tes tinggal setengah jam lagi.
Namun  bentukan Ayah yang pengatur, membuatku dengan kesal berbalik arah mendekat bapak itu. Meski dia menolak dibantu, aku seolah tak mendengarnya. Aku malahan membantunya membersihkan buah-buahan yang kotor dengan air. Hasilnya dapat ditebak. Aku terlihat mulai tak rapi. Sial, ini semua gara-gara didikan Ayah. Dan di depan sana tak ada lagi gerombolan pelamar.
Sambil berlari aku ke halaman perusahaan itu. Lalu, lagi-lagi didikan Ayah membuatku selalu tak bisa cuek. Aku mengomel dalam hati ketika melihat air masih mengocor dari sebuah selang. Hmm, perbuatan mubazir! Mungkin ada yang sedang mencuci mobil di sini, dan dia lupa mematikan kran. Sialan! Aku terpaksa menelusuri selang itu untuk mencari pangkalnya di mana. Setelah bertemu pangkalnya, aku segera mematikan kran.
Tak ingin genangan air yang naik ke atas keramik membuat celaka orang yang melintas, aku terpaksa mengeringkannya dengan kain pel di sudut ruangan. Kemudian aku nyengir, antara geli dan kesal. Tapi dengan rasa kesal berlebih. Hasilnya dapat ditebak, aku sama sekali tak rapi lagi.
Hmm, andai aku pulang untuk bersalin pakaian, yakinlah aku tak bisa ikut tes. Lalu dengan percaya diri aku masuk ke gedung itu. Satpam yang duduk di lobi menatapku curiga. Mungkin tampilanku menunjukkan bahwa aku bukan orang baik-baik. Setelah aku mengatakan akan melamar,  dia menunjukkan  arah ke ruangan tes.
Lagi-lagi aku berhenti di dekat sebuah ruangan. Ac dan tivi  menyala, sementara tak ada seorang pun yang berada di situ. Awalnya aku berniat cuek. Lagipula bukankah terlalu lancang jika aku mengutak-atik benda di kantor yang masih menganggapku orang asing. Namun hasil didikan Ayah memaksaku mematikan hal yang mubazir itu. Hasil didikan Ayah pula yang membuatku ingin menangis ketika tiba di ruangan tes, aku tak  boleh masuk. Artinya, aku tak diterima bekerja sebelum bertarung.Â
Aku kesal akibat didikan Ayah, aku tak dapat pekerjaan. Coba aku ini orang yang agak cuek, tentu tak akan begini hasilnya.
Perlahan aku terunduk-tunduk lesu. Tapi aku harus berbalik arah karena seorang perempuan memanggilku. Aku boleh ikut tes, tapi di ruangan lain. Alangkah bahagianya! Â Perlahan aku masuk ke ruangan yang agak sempit berpendingin kipas angin. Lama aku dmenunggu di situ. Sehingga masuk seorang lelaki setengah baya yang terlihat parlente.
"Eh, yang melamar itu di sini rupanya. Sekarang kamu boleh mulai bekerja," katanya. Tapi sebelum aku mengembangkan senyum bahagia, Â lelaki itu melanjutkan. "Nanti minta kain pel di petugas gudang. Tolong pel ruanganku, ya. Hari ini ada tamu penting."
Brak! Apa ini? Lututku seketika lemas.
***
Kami mengelingi meja makan dengan wajah sumringah. Ada tumpeng di atasnya. Aku berkali mencium pipi Ayah. Hasil didikannyalah hingga aku berhasil menjadi manager keuangan tanpa tes. Bingung kan? Begini, sebenarnya kejadian yang menimpaku adalah salah satu tes  masuk kerja.
Mulai dari bapak dengan buah-buahan berhamburan, air mengocor tak karuan di halaman, ruangan mubazir listrik, hingga menjadi office boy, mengepel ruangan direktur. Semua kulakukan secara otomatis, meski dalam hati sebenarnya aku kesal. Dan alasan sang direktur tak perlu mengetesku, karena nilai di dalam ijazahku sudah mengatakan.Â
"Orang seperti andalah yang kami butuhkan. Yang bekerja efisien, dan tak milih-milih kerja." Terngiang ketika Pak Direktur menyuruhku tegak. Saat itu aku sedang mengepel di ruangannya.
---sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H