Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hasil Didikan Ayah

26 November 2019   11:11 Diperbarui: 26 November 2019   11:09 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku kemudian bercerita kepada Ibu, bahwa aku  bosan hari-hari selalu diatur Ayah. Ibu hanya terkekeh. Ketika aku cemberut, Ibu perlahan mengelus lenganku. Bagi orangtua, anak tetaplah diperlakukan seperti anak-anak, meski si anak sudah berkeluarga. Si anak tetap saja dianggap cengeng dan manja seperti masih muda. Makanya, meski aku sudah berkeluarga, tugas orangtua tetap seperti dulu, suka mencereweti, bukti kasih sayang itu tulus.

Mati aku! Bukannya dibela Ibu, telingaku sampai bindeng mendengar petuahnya. Tapi sekali lagi, aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Aku tak mau bernasib seperti Om Darno. Karena suka melawan orangtua, sampai sekarang dia masih melajang. Walaupun usianya hampir limapuluhan.

Hingga di suatu hari---sebulan setelah aku memperoleh ijazah sarjana---aku mengikuti tes masuk kerja di perusahaan besar itu. Tiba giliranku membahagiakan orangtua. Tapi apakah semudah itu aku akan diterima?

Sekarang ini mau apa-apa harus dengan pulus. Sepertinya tak ada harapan bagi pelamar akan diterima kerja bila ngotot menempuh jalur murni. Paling tidak kalau bukan dengan pulus, aku harus ada koneksi alias orang dalam. Tapi orangtua meyakinkanku agar tetap optimis.

Entah terpengaruh tabiat Ayah yang pengatur, aku tak dapat dengan begitu saja mengenakan pakaian sembarangan. Aku berusaha tampak rapi, termasuk sisiran. Maka setelah mohon restu mereka, aku berangkat untuk melamar pekerjaan.

Saat turun dari taksi, ekor mataku tiba-tiba melihat seorang bapak yang kepayahan mengumpulkan buah-buahan yang berserakan. Hmm, cuek sajalah.  Pura-pura tak melihat. Apalagi waktu tes tinggal setengah jam lagi.

Namun  bentukan Ayah yang pengatur, membuatku dengan kesal berbalik arah mendekat bapak itu. Meski dia menolak dibantu, aku seolah tak mendengarnya. Aku malahan membantunya membersihkan buah-buahan yang kotor dengan air. Hasilnya dapat ditebak. Aku terlihat mulai tak rapi. Sial, ini semua gara-gara didikan Ayah. Dan di depan sana tak ada lagi gerombolan pelamar.

Sambil berlari aku ke halaman perusahaan itu. Lalu, lagi-lagi didikan Ayah membuatku selalu tak bisa cuek. Aku mengomel dalam hati ketika melihat air masih mengocor dari sebuah selang. Hmm, perbuatan mubazir! Mungkin ada yang sedang mencuci mobil di sini, dan dia lupa mematikan kran. Sialan! Aku terpaksa menelusuri selang itu untuk mencari pangkalnya di mana. Setelah bertemu pangkalnya, aku segera mematikan kran.

Tak ingin genangan air yang naik ke atas keramik membuat celaka orang yang melintas, aku terpaksa mengeringkannya dengan kain pel di sudut ruangan. Kemudian aku nyengir, antara geli dan kesal. Tapi dengan rasa kesal berlebih. Hasilnya dapat ditebak, aku sama sekali tak rapi lagi.

Hmm, andai aku pulang untuk bersalin pakaian, yakinlah aku tak bisa ikut tes. Lalu dengan percaya diri aku masuk ke gedung itu. Satpam yang duduk di lobi menatapku curiga. Mungkin tampilanku menunjukkan bahwa aku bukan orang baik-baik. Setelah aku mengatakan akan melamar,  dia menunjukkan  arah ke ruangan tes.

Lagi-lagi aku berhenti di dekat sebuah ruangan. Ac dan tivi  menyala, sementara tak ada seorang pun yang berada di situ. Awalnya aku berniat cuek. Lagipula bukankah terlalu lancang jika aku mengutak-atik benda di kantor yang masih menganggapku orang asing. Namun hasil didikan Ayah memaksaku mematikan hal yang mubazir itu. Hasil didikan Ayah pula yang membuatku ingin menangis ketika tiba di ruangan tes, aku tak  boleh masuk. Artinya, aku tak diterima bekerja sebelum bertarung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun