Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tikus Memakan Otak Orang Berdasi

22 November 2019   11:57 Diperbarui: 22 November 2019   11:55 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gedung hijau lumut itu terkesan angkuh. Asop tersenyum, turun dari Alphard pinjaman sambil membetulkan letak dasi yang tak fasih dikenakan istrinya. Kerja butuh penampilan agar cepat dipercaya orang. Hanya untuk penampilan luar, tidak untuk penampilan dalam, kendati otak cekak.

Demi penampilan luar, semua barang yang dikenakan bisa saja pinjaman. Sama seperti saat Asop menjadi pengusaha depot barang butut, selalu mudik ke kampung membawa mobil. Paling tidak sekelas Innova, tapi membuat warga kampung menganga.

Seorang security tertunduk-tunduk, mempersilakannya masuk. Asop tersenyum bangga. Dulu, security itu tetangganya. Sombong bukan main. Namun sesama orang sombong tidak boleh saling mendahului.

Sekarang giliran Asop memiliki tanduk. Security itu hidupnya di ujung tanduk. Kehidupan ini terus berputar. Kadang di atas. Suatu kali berada di bawah. Tapi belum tentu itu berlaku pada kesombongan. Sombong itu kerap bercokol sampai pemiliknya mati. Tak pernah pula suatu kali si sombong menjadi rendah hati, apalagi rendah diri.

Asop bekerja di tempat yang paling tinggi di gedung itu. Tapi anehnya, di situlah sebuah kerajaan tikus berada. Entah bagaimana mereka bisa membuat kerajaan di tingkat atas gedung itu. Bagaimana para tikus naik dari lantai pertama ke atas. Jalan kaki? Atau naik lift?  Sungguh, itu tak perlu dipikirkan.

Kita lihat bagamana Asop menghirup udara dalam-dalam saat disembur ac sebesar lemari. Perempuan di lobi ketakutan, bagaimana seandainya lelaki di depannya tak mau mengeluarkannya lagi. Pagi ini tentu saja menjadi hari buruk baginya. Namun melihat perempuan yang cantik selangit, Asop bukan saja mengeluarkan napas. Dia ngos-ngosan. Kalau saja istrinya secantik itu.

Hmm, dia memberi perempuan itu senyum tertampan yang dia punya. Meski dia hanya nyengir. Dia hari-hari memang mirip seekor kuda yang suka meringkik. Harap dimaklumi, giginya memang tak rata. Agak terlalu maju ke depan. Seperti bemo. Itu artinya dia tidak tampan. Tapi prinsip agar bisa sukses, terutama menggaet perempuan, lelaki hanya butuh ketampananan  satu persen. Sembilan puluh sembilan persen itu uang. Prinsip itu  tak selalu, namun seringkali.

Dia melambatkan masuk ke dalam lift. Sebentar dia duduk di sofa. Membaca majalah bisnis yang tak masuk di otaknya. Dia hanya faham berapa harga majalah sekilo. Dengan pura-pura khusyuk membaca, dia mengintip kaki mulus itu. Roknya sangat mini. Hampir sejengkal di atas lutut. Dia tak lecet, plus tanpa koreng. Ada ya kaki semulus itu di kota ini? Asop baru pertama kali melihatnya.

Sementara nun di loteng tingkat atas, para tikus kelihatan sibuk mempersiapkan penyambutan. Asop adalah pekerja berikutnya. Pekerja lain sudah hengkang. Mereka sudah lima tahun bekerja, dan tercatat lima kali diketahui atasannya korupsi. Itu hanya yang diketahui, dan menjadi terkendali karena si atasan mendapat percikan. Bagaimana dengan korupsi lain yang disimpan rapat-rapat?

“Pokoknya kita harus berhasil membuat kerajaan bisnis di sini,” kata tikus tua bermahkota tutup bir. Dia terlihat gagah berselempang uang seratus ribu. “Apa gunanya kita digelar tikus kantor, yang otaknya berapa giga derajat dibanding tikus got dan rumah. Apalagi dibandingkan dengan cecurut yang dari lahir sudah rabun itu.”

Tikus yang lebih muda menimpali. “Perjuangan kita untuk mendirikan kerajaan tikus kantor ini sudah berdarah-darah, Bos. Bahkan kita berhasil membangun bisnis aplikasi, bagaimana menjadi tikus yang jujur di luar, tapi di dalam adalah penipu.”  Dia menunggu atasannya tertawa. Setelah atasannya tertawa, tikus muda ikut mengiringi, juga dilanjutkan tikus lain. Bercicit-cicit memenuhi seantero ruangan lima kali empat meter itu. Namun mendadak senyap ketika ada yang membuka pintu; Asop.

Lelaki itu sebentar terdiam. Dia heran karena seperti mendengar suara tikus yang ramai. Kenapa di gedung seindah itu ada suara tikus? Apakah telinga Asop yang salah? Lelaki itu menelengkan kepala. Lalu melompat-lompat kecil sambil memukul kepala itu. Dia berpikir ada tikus besar di liang telinganya. Tapi ternyata dia hanya mengkayal.

Dia perlahan mengambil sebotol minuman merah di kulkas, lalu menenggak isinya. Dia malu ketika menyadari di lemari pendek sebelah kulkas, tersusun gelas kristal. Untung saja tak ada yang melihat. Padahal dia baru hari pertama bekerja.

Dia pun duduk di belakang meja. Memutar-mutar tubuh. Kursi bisa berpusing tiga ratus enam puluh derajat. Lalu perlahan dia menghidupkan laptop. Oh, ya. Dia baru sadar laptop itu belum dicolok ke stop kontak. Hanya saja dia ingat, yang namanya labtop terkadang bisa menyala tanpa arus listrik dari stop kontak.

Maka dia pelan-pelan mencari benda yang menjadi power di keyboard, agar dia menyala. Aha, berhasil! Ternyata dia menyala. Asop bangga merasa cerdas bisa menghidupkan laptop. Dia biasanya hanya mengerti mengurangi timbangan barang butut agar mendapat untung lebih.

Saat itulah dia melihat lobang sebesar kepalan orang dewasa si sudut ruangan. Ada sepasang mata yang menyala. Dia bergerak cepat melompat ke arah lemari. Melompat pula ke atas kepala Asop. Kebetulan sekali lelaki itu botak. Jadi tak akan mengganggu pekerjaan tikus itu ketika menggergaji kepala Asop.

Giginya yang kecil dan runcing berhasil menembus kulit kepala Asop. Lelaki itu bermaksud berteriak, tapi racun tikus lebih cepat bekerja. Sebentar saja, tikus berhasil membuat tubuh bongsor Asop meluncur ke bawah meja. Dia pingsan.

Penggergajian batok kepala Asop pun dimulai. Saat memakan otaknya, si tikus muda protes. “Otak orang ini beku. Dia bodoh sekali. Bagaimana dia bisa bekerja di gedung yang harusnya diisi orang pintar?”

Tikus tua yang penuh pengalaman berkata bijak, “Orang-orang di sini memang rata-rata pintar. Tapi pintar mengganti angka-angka dan menipu orang. Bukankah selama ini hampir setiap ada orang baru bekerja di gedung ini, kau hanya menyicipi otak-otak yang beku. Bodoh. Tugas kita hanya membuat otak mereka cerdas menipu. Masalah otak beku itu, sedekahkan saja kepada tikus miskin. Atau buang saja ke tong sampah."

Para tikus bergerak cepat. Beberapa tikus turun dari loteng membawa sebentuk mesin kecil. Mesin kecil itu di sambung dengan sarap otak Asop. Pekerjaan si tikus tua sangat cepat dan cekatan melebihi usianya. Dia menjadikan kepala botak itu sehat seperti sediakala, tapi tetap botak.

Mereka tak ingin ada orang masuk ke dalam ruangan, dan melihat aktifitas yang mencurigakan itu. Maka semua kembali ke loteng. Lobang sebesar kepalan orang dewasa itu kembali dilem. Lalu sunyi.

Asop tersadar, terkejut menyadari dirinya di bawah meja. Dia merasa sedang bermimpi. Dia tersenyum. Ruangan itu sangat nyaman, hingga dia bisa tertidur lelap.

Asop juga bingung bisa mengoperasikan laptop. Berkas-berkas laporan cepat dia kerjakan. Berapa banyak angka-angka yang tidak masuk akal berhasil dia selipkan. Angka-angka yang semula sedikit, bisa diubahnya menjelma sangat besar. Dan dia tersenyum riang.

Dari hari ke hari dia merasa lebih kaya. Dia mulai sering bertamu orang-orang aneh. Lelaki-lelaki berdasi dan perempuan memakai blazer. Hanya dari telapak kaki sampai ujung leher mereka yang berwujud manusia. Tapi kepalanya tikus. Mendecit-decit mulut mereka. Juga Asop. 

Dari loteng itu ratusan tikus masuk. Berpesta pora. Berdansa-dansi. Begitulah yang terjadi. Para tikus di seluruh kota berbondong-bondong tinggal di gedung itu. Bahkan di dalam komputer dan lemari brankas. Dari tikus got, tikus rumah, tikus angin, tikus sawah, hingga cecurut. 

Bertambah seratus demi seratus tikus. Bertambah seribu demi seribu tikus. Malahan lebih satu juta. Hingga kerajaan tikus itu tiba-tiba goyah. Retak-retak dindingnya. Sebagian dinding menjadi bongkahan dan jatuh ke atas tanah.

Media mengaum memberitakan ini. Orang di seluruh kantor itu dijebloskan polisi ke penjara. Mereka didakwa lebih suka memelihara tikus ketimbang manusia. Hingga gedung itu pun dirubuhkan, agar orang melupakan sejarah orang-orang berotak tikus yang menggerogoti kota. 

Tapi ada tiang pancang yang tetap kokoh berdiri. Dia berbentuk tikus yang sedang berdiri. Orang-orang kemudian sering memahatnya beberapa bagian, dan serpihan hasil pahatan dijadikan isim. Itulah yang sampai sekarang  yang dipergunakan mereka untuk menipu dunia. Maka jangan heran bila sekarang ada orang yang bisa memakan jalan tol, juga besi-besi jembatan dan behel gedung bertingkat tinggi.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun