Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Mangga Manalagi

16 November 2019   11:35 Diperbarui: 16 November 2019   12:55 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Jantungmu berdesir saat anak usia belasan tahun itu menawarkan jasanya.  Kau merasa aneh. Kau bukan pedofilia. Istrimu sangat cantik beberapa tahun lalu. Wajahnya sering berseliweran di media sebagai bintang iklan. Tapi kau merasa aneh, merasa jatuh sayang kepada anak itu. Ada sosok yang kau kenang di tubuhnya yang gempal. Mata itu, permata yang tak kunjung kau lupa untuk mengasahnya. Rambut hitam legam itu. Kau ingat sering mengelus dan  menciuminya. Ah, apakah kau terbawa perasaan?

Kau ingat masa itu jauh dari hari ini. Hampir dua ribu kilometer dari tempat kau sekarang berdiri tegak. Dan bukan maumu berteduh di emperan toko itu. Kau baru saja mengurusi bisnis dengan seorang rekan. Kau sambilan membeli mangga manalagi pesanan istrimu. Tapi belum sampai ke pasar, hujan menghalang langkahmu. Berkejaran dengannya, siapa yang lebih dulu mencampai  emperan toko. Ternyata larimu lebih lambat dari kejaran hujan. Rambutmu kuyup. Sepatu sedikit basah. Anak itu mengangsurkan handuk kudel. Kau diam-diam mencium handuk itu. Kau pun menyerahkannya kembali. Daripada kau muntah, bagaimana?

"Semir, Om?" rayunya lagi. Sudah dua kali kau menolak. Dia kukuh, tetap merayu agar kau luluh. "Dari pagi belum ada yang menyemir sepatu. Pokoknya om kukasih diskon?" Dia nyengir kuda.  Kau mulai tertarik. Pertama, karena seperti ada magnet di mata dan rambutnya. Kedua, kau tertarik dengan caranya berbisnis semir sepatu. Awal yang baik!

Akhirnya kau duduk di bangku plastik. Sepatumu telaten dia buka. Dia berceloteh tentang sepatumu yang bagus. Pasti mahal. Kulit sepatu itu berbahan kulit jeruk. Tahan lama. Boleh juga ilmunya tentang persepatuan. cocok dengan pekerjannya.

Dia memperlakukan sepatu itu seperti manusia.  Dielus, digendong, bahkan dicium perlahan. Kau tertawa sambil menegor, sepatu kok diciumi. Kotorlah! Dia kata lantaran senang, karena yakin sepatuku mahal.

Entah kenapa kau iseng-iseng menanyakan namanya. Dia menyebutkan; Manto. Kau kata namanya cukup bagus. Lalu, tanpa kau tanya, dia mengatakan kampung asalnya nun di Sumatera. Medan tepatnya. Kau ingat masa kecil sering bermain sepada di Lapangan Merdeka. Atau kuat-kuatan jalan dengan temanmu dari Amplas ke Pasar Petisah. Tapi, baru saja di depan kampus UISU, kalian terkapar di  warung es. Tak pernah-pernah kalian menghabiskan tiga gelas es cendol. Hasilnya kantong kalian tongpes. Perjalanan diputuskan menumpang Sudako. Tapi uang tak mencukupi. Kalian berjalan kaki ke rumah masing-masing. Dan kau terkapar di lantai hingga tengah malam. Ayahmu memindahkan kamu ke atas kasur.

Kau juga teringat perempuan itu; Aminah. Dia anak penjaga kantin ketika kau masih SD. Meski dia putus sekolah, tapi otaknya cerdas. Kalian sering bermain dan belajar bersama. Buku-bukumu seringkali kau pinjamkan kepadanya. Satu lagi yang kau suka, masakan ibunya. Gurih bukan buatan. Nikmat sejagat. Kau belum pernah merasakan masakan dari tangan ibumu. Semua dikerjakan Bik Nah. Lagi-lagi Bik Nah. Ibumu terlalu sibuk dengan bisnisnya. Terutama ayahmu.  

Hingga kau SMP, kalian tetap berteman dekat. Sepulang sekolah, kau selalu bernostalgia tentang kantin itu. Tentang teman-temanmu yang lucu. Bukankah kau sebenarnya mencoba berbohong? Kau terkadang merasakan tumbuh benih-benih cinta di hatimu. Ah, mungkin saja hanya cinta monyet. Kau tiba-tiba merasa bersoda menjadikan Aminah pacarmu. Kau terlalu sayang kepadanya. Lho, bukankah sayang itu sama  dengan cinta? Dan bukankah cinta itu artinya kalian akan berpacaran?  Menikah? Aduh, kau selalu mengetok-ngetok jidat ketika memikirkan permasalahan pelik pada otakmu yang beranjak remaja.

Yakinlah kau, bahwa hati Aminah ingin kau petik. Ketika itu kau duduk di bangku SMA. Kau mulai sering membawanya coklat ketika hari valentine. Kalian juga sering merayakan hari ulang tahun di restoran tempat kongkow anak muda. Teman-temanmu juga sering ikut meramaikan. Mereka setuju melihat kalian. Pasangan yang cocok. Seperti pelangi dan langit  yang saling melengkapi keindahan.

Setamat SMA, akhirnya hubungan kalian terbongkar. Padahal kau sudah sembunyikan rapat-rapat. Kau ingin mengatakan kepada kedua orangtuamu pada saatnya nanti. Ya, ketika kau sudah selesai kuliah dan mendapat pekerjaan. Aminah akan kau perkenalkan kepada mereka, sebagai calon mantu.

Awalnya kau menebak terbongkarnya hubunganmu dengan Aminah akan berakhir biasa saja, alias kalian direstui, tapi ternyata membuat berang mereka. Apakah kau ingin seperti abangmu yang menikah dengan anak penjual jamu? Lihatlah hasilnya.  Mereka seperti orang kere kebanyakan, mengontrak rumah, dan sering kali mengemis kepada orangtua. Apakah kau ingin meneruskan tahta orang kere itu?

Tidak! Orangtuamu tak ingin anaknya jatuh  ke lobang yang sama. Dari anak penjual jamu berpindah ke anak penjaga kantin. Apa itu? Sama sekali tak ada peningkatan! Hasilnya, sebulan kemudian kau sangat terkejut ketika sepulang bermain sepak bola, melihat baju-bajumu sudah di dalam koper. Belum sempat bertanya kepada orangtua, ibumu tiba-tiba dengan santai menyerahkan tiket ke Jerman. Kau akan tinggal di rumah bibimu, dan sekolah di universitas favorit di negara itu.

Kau ingin membantah. Orangtuamu mengancam, apakah kau tetap dengan Aminah dan harus hengkang dari rumah, atau kalian berpisah dan kau akan hidup tenang. Saat itu kau bingung. Otak jebolan SMA belum dapat mencerna yang begituan. Kau, untuk pertamakalinya mengadukan kegundahan itu ke sebotol  Whisky. Kau mabuk berat. Kau menelepon Aminah, dan kalian menikmati suasana kota hingga pagi.

***

Manto menyadarkanmu. Kau tersentak telah bersepatu. Kapan-kapan dia menyelesaikan tugasnya? Melihat dia menadahkan tangan meminta bayaran, kau malahan mengajaknya ke sebuah rumah makan. Kau tiba-tiba lapar berat. Entah kenapa pula kau mengajaknya. 

Kau merasa terhipnotis ketika melihat cara makannya. Sangat rapi, meski dia cuma seorang tukang semir sepatu. Persis sekali Aminah.

Setengah memaksa, kau ingin ikut ke rumahnya Dia menolak karena tugasnya menyemir sepatu hingga pukul enam sore. Tapi ketika kau berjanji akan membayar waktunyanya sebesar lima ratus ribu, anak itu pun luluh.

Kau tak perlu mengendarai mobil ke sana. Manto dengan lincah melompati genangan sisa hujan , mengajakmu agar mengikutinya. Tentu saja sepatumu kembali kotor. Kau tak perduli. Kau bergegas mengikutinya seperti pemburu mengejar kijang. Meski bertubuh gempal, langkahnya sangat lihay. Seolah kakinya memiliki mata.

Lebih tiga lorong yang kalian masuki, akhirnya Manto berhenti di sebuah rumah kumuh. Sama kumuhnya dengan rumah tetangga. Anak-anak sedang bermain kelereng di antara genangan air. Kau juga melihat seorang perempuan bertubuh gempal sedang menjemur pakaian. Saat itulah kau sadar telah tertipu perasaan. Ibu Manto bukan Aminah. Betapa bodohnya dirimu.  Kau kehilangan uang lima ratus ribu hanya oleh syakwasangka.  Ah, tenanglah, Amar. Anggap saja itu untuk bekalmu di akhirat nanti.

"Dia ibumu?" Kau bertanya. Perempuan itu menoleh.

"Bukan! Aku uwaknya." Perempuan itu yang menjawab. "Kawan Manto, ya?" Kau tertawa dalam hati. Bagaimana mungkin orang setua kamu berkawan dengan anak ingusan.

Manto mengajakmu masuk ke rumahnya. Kau menunduk. Atap rumah terlalu rendah untuk tubuhmu yang jangkung. Kau pun dipersilahkan Manto duduk. Kau mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sempit itu. Tiba-tiba matamu berhenti di sebuah foto seorang perempuan yang sangat kau kenal.

"Itu ibuku." Seolah tahu apa yang sedang kau pikirkan, Manto membuatmu tak perlu lagi bertanya. Tapi sungguh membuatmu bertanya-tanya. Sebenarnya ayah anak itu siapa?

Kau ingat pagi itu mata Aminah sembab. Kau baru siuman habis mabuk berat. Selimut-selimut berhamburan. Baju Aminah acak-acakan. Kau tak yakin telah melakukannya. Kau hanya mabuk berat. Aminah juga tak bercerita apa-apa sejak itu. Bahkan saat kau akan terbang ke Jerman, dia sedang menginap di rumah neneknya nun di kampung sana.

"Itu foto ibu Manto." Perempuan itu lebih memperjelas." Dia meninggal saat melahirkan anak ini. Ayahnya sungguh tak bertanggung jawab. Sudah melakukan, tapi terbang ke luar negeri. Itu cerita terakhir Aminah sebelum meninggal. "

"Ke luar negeri mana?" Jantungku berdebar.

"Ke Je-Je." Perempuan itu seperti mengingat sesuatu.

"Ke Jerman, ya?"

"Ya, dia memang tak bertanggung jawab. Dia enak-enakan kuliah di sana."

Kau ingat setelah setahun kuliah di Jerman, kau pulang ke Medan. Kau diam-diam mencari Aminah. Tapi kau kehilangan jejak. Rumah perempuan itu telah rata dengan tanah, dan berdiri di atasnya sebuah gedung bertingkat tiga.

Kau tiba-tiba ingin menangis. Kau lihat mata Manto. Ada Aminah tumbuh di matanya. Kau ingin berterus-terang bahwa lelaki yang tak bertanggung jawab itu adalah kau. Namun kau pikir, bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Sebelum kalian berpisah, kau hanya memberikan uang lima ratus ribu kepada Manto sesuai  janjimu. Janjimu dalam hati akan sering ke rumah ini.

Kau pulang dengan kepala dibanduli masalah. Hari mulai gelap saat kau tiba di rumahmu. Istrimu yang membuka pintu. Dia bertanya tentang mangga pesanannya. Kau tersentak, dan hanya berkata lupa, tanpa ada ekspresi rasa bersalah. Istrimu melihatmu dengan curiga, jangan-jangan kau menyembunyikan sesuatu.

Sapta, 161119

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun